Selamat Datang di Jurnal INTUISI, Blog resmi LAPMI Jaksel

Selamat Datang di Jurnal INTUISI, Blog resmi LAPMI Jaksel.

Terima kasih atas kunjungan Anda sekalian. Jurnal INTUISI, sebagai blog resmi LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan, berusaha menyuguhkan update informasi maupun kajian yang berlangsung di seputar lingkungan HMI MPO Cabang Jakarta Selatan. Kami berharap, para pengunjung sekalian dapat menikmati suguhan ini dan meninggalkan catatan-catatan kecil demi perbaikan ide-ide kami di masa yang akan datang. Sebab, Jurnal INTUISI hadir untuk menangkap pengetahuan secara keseluruhan!

Tim LAPMI Jaksel

Ada Apa di Jurnal INTUISI?

  • Update Jurnal INTUISI Versi Cetak
  • Editorial Aktual
  • Update Info HMI JakSel
  • Opini Beragam
  • Kajian Mendalam
  • Fitur Tambahan Seru
  • Partisipasi Terbuka

Minggu, 23 November 2008

REKONSTRUKSI SYARIAT ISLAM DI INDONESIA

REKONSTRUKSI SYARIAT ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Bahrul Haq Al-Amin


Sebagai sebuah bagian yang diyakini oleh sebagian kalangan merupakan ajaran agama Islam, maka Syariat Islam sejak lama tidak pernah bisa dilepaskan eksistensinya dari umat Islam. Berjuta-juta umat Islam di seluruh penjuru dunia disibukkan dengan urusan penegakkan syariat Islam ini, termasuk di dalamnya perdebatan madzhab mana yang dijadikan sebagai madzhab terbaik yang menjamin pengikutnya mendapatkan keselamatan. Nah, selama bertahun-tahun umat Islam nyatanya terjebak dalam perebutan otoritas kebenaran. Tentang siapakah, golongan manakah, madzhab manakah, ini-itu dan sebagainya.

Padahal, perbedaan-perbedaan tersebut sangatlah wajar dan manusiawi. Mengapa demikian? Karena pada hakekatnya, otoritas kebenaran absolut hanyalah milik Sang Maha Benar, Tuhan. Adapun wahyu dan dakwah dari utusannya, telah tereduksi dengan sendirinya karena membutuhkan penalaran dan pemahaman yang sesuai dengan konteks ruang, waktu dan orang-orang yang dituju.

Yang menjadi masalah kemudian adalah bahwa perbedaan-perbedaan pemahaman tersebut campur-aduk dengan kecongkakan hati dan kedangkalan pikiran yang tidak berkenan menerima realitas perbedaan pemahaman tersebut. Hal ini bahkan semakin diperparah dengan politisasi teks-teks keagamaan oleh pihak penguasa agar lebih mudah menjinakkan kaum yang dikuasainya, atas nama agama dan Tuhan.

Contoh dekat dari kasus politisasi Syariat misalnya terjadi di Tasikmalaya. Di Tasikmalaya, upaya penegakan Syariat Islam tak lebih dari upaya PPP untuk mencari dukungan dari konstituen Islam. Dengan kata lain, mengangkat isu syariat Islam ibarat “dagangan”politik. Pada Pemilu 1999, dagangan yang ditawarkan oleh parta Islam “fundamentalis”, khususnya PPP, berhasil mendongkrak perolehan suara dan memenangkan Pemilu di Tasikmalaya. Sayangnya, paratai-partai Islam yang memperjuangkan syariat Islam pasca reformasi dinilai sangat mengecewakan. Partai-partai itu hanya memperjuangkan simbol-simbol formal, seperti anjuran memakai jilbab, baju koko, dan melaksanakan shalat Dzuhur berjamaah. Di sisi lain, Tasikmalaya malah menjadi pusat judi. Selain itu, ekses lainnya malah meluasnya praktik-praktik poligami. Adapun pemberantasan korupsi tidak juga berjalan secara konsisten.1

Oleh karenanya, sepantasnyalah jika syariat Islam sudah perlu direkonstruksi oleh penganutnya. Karena, rujukan-rujukan mengenai syariat Islam ini telah lama usang dan karenanya perlu pemahaman baru agar tidak terlepas dari konteksnya.


Syariat Islam dan Negara-Bangsa

Cobaan mutakhir terhadap syariat Islam pasca perang dingin adalah terbentuknya negara-bangsa secara massif hampir di seluruh negara. Ide negara-bangsa yang merupakan dampak tidak langsung dari imperialisme negara-negara Barat atas dunia Islam menimbulkan polemik dan permasalahannya sendiri. Dunia Islam kesulitan memahami konsep negara-bangsa, berikut turunan-turunannya.

Dalam tataran konseptual, gagasan negara-bangsa tentunya sangat berbeda dari apa yang dipahami umat Islam sebagaimana yang ada dalam tradisinya. Batasan geopolitik negara-bangsa nyata-nyata berbeda secara historis-konseptual dan menyempitkan ruang geopolitik Islam. Begitu pun dalam diri Islam sendiri yang terlampau mendikotomiskan wilayah politiknya; yaitu menjadi dar al-Islam (wilayah damai), yaitu wilayah kaum muslim, dan dar al-harb (wilayah perang), yaitu non-muslim, 2 yang tentu saja dalam konteks sebuah negara-bangsa tidak bisa dibenarkan dikarenakan diskriminasinya.


Syariat Islam dan HAM

Hak Asasi Manusia dapat diartikan pada beberapa pengertian dasar, di antaranya:

1. Jika suatu hak asasi diteguhkan sebagai HAM dan bukannya hak sipil, maka dipahami sebagai suatu hal yang bersifat universal, sesuatu yang berlaku untuk seluruh umat menusia di mana pun juga,
2. Hak-hak asasi dipahami sebagai mewakili tuntutan-tuntutan pribadi dan kelompok untuk ambil bagian dalam kekuasaan politik dan ekonomi,
3. Disepakati bahwa hak-hak asasi tidak selamanya bersifat mutlak, hak-hak itu dapat dibatasi atau dikekang demi kepentingan umum atau untuk melindungi hak-hak pihak lain,
4. HAM bukanlah alat untuk melindungi keinginan pribadi,
5. Pengertian tentang hak asasi sering mengandung kemestian adanya kewajiban-kewajiban yang terkait.3

Franklin D. Roosevelt pernah menyebutkan 4 kebebasan dasar manusiawi: 1) Kebebasan berbicara dan berekspresi, 2) Kebebasan setiap orang untuk beribadah kepada Tuhan dengan caranya sendiri, 3) Kebebasan dari kekurangan, dan 4) Kebebasan dari rasa takut.4

Secara historis, HAM lahir berasal dari Barat dan merupakan buah dari imperialisme Barat. Universalisme HAM memang menimbulkan kontroversi karenanya. Pun demikian, banyak negara-negara yang mengikuti Deklarasi Universal HAM serta konvenan-konvenan internasional lainnya yang berkaitan dengan HAM, termasuk negara-negara di dunia Islam. Bahkan hingga saat ini wacana HAM ini berusaha dikembangkan legitimasi teologisnya dalam Islam.

Ishaque (1974) menjelaskan bahwa dalam hukum Islam terdapat kira-kira 14 buah hak-hak asasi, yang kesemuanya didasarkan pada firman-firman Allah swt dalam Al-Quran. Keempat belas hak-hak itu mendukung tuuan untuk membina dan membentuk makhluk yang secara moral memiliki kesempurnaan. Hak-hak tersebut antara lain: 1) Hak memperoleh perlindungan hidup, 2) Hak memperoleh keadilan, 3) Hak memperoleh persamaan perlakuan, 4) Kewajiban mengikuti apa yang benar dan hak untuk menolak apa yang tidak benar secara hukum, 5) Hak untuk terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat dan negara, 6) Hak memperoleh kemerdekaan, 7) Hak memperoleh kebebasan dari pengajaran dan penuntutan, 8) Hak menyatakan pendapat, 9) Hak atas perlindungan terhadap penuntutan atas dasar perbedaan agama, 10) Hak untuk mendapatkan ketenangan perorangan, 11) Hak-hak ekonomi, termasuk hak memperoleh pekerjaan, hak memperoleh imabalan atas upah di saat tidak mampu bekerja, dan hak memperoleh upah yang pantas bagi pekerjaan yag dilakukan, 12) Hak memperoleh perlindungan atas kehormatan dan nama baik, 13) Hak atas harta benda dan harta milik, dan 14) Hak memperoleh imbalan yang pantas dan penggantian kerugian yang sepadan. Sebenarnya dari kesemua hak-hak di atas masih dapat dikembangkan Hak-hak Asasi yang lain yang lebih lanjut, seperti hak memperoleh perlindungan dari serangan fisik dari alat-alat pemerintahan dengan dalih apapun, hak untuk memperoleh bantuan dalam memperjuangkan tuntutan hukum bagi mereka yang teraniaya atau kehilangan haknya atas harta milik yang menjadi bagiannya, dan seterusnya.5

Dari sini, terlihat bahwa Islam sendiri memiliki gagasan HAM. Oleh karenanya, HAM memang dapat dipandang sebagai sesuatu hal yang universal. Penegakan HAM dengan demikian, termasuk dalam hal menegakkan misi Islam di muka bumi yakni rahmatan lil alamin.


Syariat Islam dan Kesetaraan Gender

Gagasan kesetaraan gender juga termasuk isu yang awalnya diangkat di dunia Barat. Stereotif bahwa Islam tidak mengakomodir gagasan ini berdengung baik itu dari Barat maupun dari kalangan Islam sendiri. Dari kalangan Islam, hal ini nampak semakin ironis, karena penentangan atas gagasan kesetaraan gender ini tidak hanya disuarakan oleh para kaum lelaki, tapi juga secara massif disuarakan oleh para perempuan. Lagi-lagi argumen mereka sangat monolitik, bahwa ide kesetaraan gender datangnya dari para kafir Barat, dan oleh sebab itu haram diikuti.

Pun demikian, di sisi lain, terdapat arus balik dari suara mainstream umat Islam seperti itu. Mereka menyadari bahwasanya Islam sesungguhnya mengakomodir gagasan kesetaraan gender ini.

Pendekatan kesetaraan gender umumnya diawali dengan pencerahan bahwasanya ketidaksetaraan gender yang terjadi di masyarakat tidak lain hanyalah hasil kostruksi masyarakat beserta nilai, norma an ideologi yang dianutnya, ada bukannya sesuatu hal yang given atau kodrati dari Tuhan. Pencitraan bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki juga tidak murni hadir sejak pencitaan mereka. Toh manusia – perempuan ataupun laki-laki – sama-sama telanjang tanpa sehelai benang pun.

Akan tetapi, pendekatan seperti ini tidak cukup dalam dunia Islam. Islam masyarakat memerlukan suatu legitimasi teologis sebelum mereka mempertimbangkan gagasan kesetaraan gender ini, walaupun mereka secara tidak sadar memang telah mengikuti gagasan ini. Maka, dasar-dasar teologis pun diungkap untuk mengetahui benarkah ada legitimasi teologis atas gagasan ini.

Amina Wadud menjelaskan bahwa proses penciptaan manusia sejatinya berpasang-pasangan. Meskipun Al-Quran secara jelas menerangkan hubungan perempuan dengan malahirkan anak, namun fungsi lainnya tidak pernah digambarkan sebagai karakteristik lainyag penting secara spesifik bagi perempuan. Dengan demikian, keterangan Al-Quran hanya mengacu pada fungsi biologis perempuan, bukan pada persepsi psikologis dan budaya.6 Selain itu, Amina Wadud juga menjelaskan bahwa dari segi balasan atau pahala, mereka yang berbuat baik, perempuan maupun laki-laki, mandapatkan balasan yang adil dari Tuhan.7 Hal ini menerangkan kepada kita bahwa sejatinya, peran gender antara laki-laki dan perempuan, menurut Al-Quran, setara dan keduanya memiliki hak dan kewajiban yang setara pula.

Sementara itu, Profesor Asma Barlas memberikan prespektif lain. Bahwa menurutnya cara pembacaan dan pemahaman Al-Quran selama ini telah dipelintir sehingga mengikuti dan menghasilkan budya patriarki. Artinya, budaya patriarki menyerobot pemahaman umat Islam sehingga lahirlah stereotif bahwa Islam tidak mendukung kesetaraan gender. Asma Barlas kemudian melanjutkan bahwa Al-Quran perlu dibaca dengan semangat pembebasan, pembebasan di sini yaitu pembebasan dari budaya patriarki yang mencemari semangat egalitarian Al-Quran dan Islam.8

Penentangan lainnya tentang ketidaksetaraan gender dikemukakan oleh Mahmud Muhammad Thaha. M. Muh. Thaha menggugat bahwasanya ketidaksetaran gender bukanlah ajaran dasar Islam. Sebaliknya, Islam justru meninggikan tanggungjawab perseorangan dalam memikul amanahnya masing-masing. Sama sekali tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Dia juga berargumen bahwa saat Islam diturunkan, ia ditujukan pada masyarakat yang sangat patriarkis, yang bahkan tega mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Dari konteks ini, pantas jika Islam tidak langsung menyampaikan revolusi tatanan sosial secara radikal. Isalam secara indah dan ramah justru mengajak umat saat itu untuk bertransisi menuju kemanusiaan yang lebih menghargai martabat perempuan. Ketentuan Islam tentang wanita mendapatkan separo dari laki-laki dalam hal warisan merupakan sebentuk ajaran transisi dari masa jahiliyah. Oleh karena itu, Thaha menentut bahwa ini bukanlah tujuan sebenarnya dari Islam. Islam justru mennjukkan semangat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dan dengan begitu, ajaran itu hanya cocok berlaku bagi konteks masyarakat Arab saat itu saja.9 Lebih jauh dari ini, M. Muh. Thaha sebetulnya tidak hanya menggugat ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan saja, dia juga menggugat poligami, talak, hijab dan pemisahan antara laki-laki dari perempuan, kesemuanya itu bukanlah ajaran dasar Islam, dan karenanya harus ditinggalkan.10

Syariat Islam dan Pluralisme

Fakta bahwa umat manusia diciptakan beranekaragam, maka keragaman atau pluralitas ini perlu mendapatkan jaminan ideologis, yaitu pluralisme. Pluralisme ialah paham tentang keragaman (pluralism is an ism about plurality).

Persentuhan antara syariat Islam dengan pluralisme terlihat dari landasan pemikiran syariat Islam yang memandang bahwa syariat Islam dimaksudkan untuk mencegah bahaya dan menepis beban dan penderitaan. Syariat Islam juga harus diwujudkan dalam kesanggupan individu dan masyarakat. Artinya, syariat Islam haruslah ditegakkan di atas landasan melindungi kepentingan orang banyak (maslahat). Syariat Islam juga dilandaskan pada pemikiran bahwa martabat manusia seluruhnya pada dasarnya setara. Selain itu, syariat Islam juga sangat menyadari kenyataan keragaman ras, suku bangsa, dan agama. Perbedaan-perbedaan ini diakomodir dalam Islam.11

Dalam Islam, non-muslim mendapatkan perlindungan, martabat dan keamanan yang sama dengan muslim. Kesaksian seorang non-muslim juga diterima setara dengan kesaksian seorang muslim. Orang-orang non muslim juga berhak menikmati keuntungan ekonomi dan mengelola kekayaan alam.12 Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan oleh Islam tidak mesti kemudian melahirkan diskriminasi. Sebaliknya Islam sangat menekankan prinsip keadilan untuk diterapkan kepada seluruh umat manusia, tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Islam dalam hal ini mengajarkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak harus disikapi dengan cara kekerasan. Manusia justru harus menghargai kemajemukan dan menjalin kebersamaan. Dari sinilah pentingnya bagi kita untuk tidak malah memperuncing perbedaan dan seharusnya malah harus menegaskan persamaan.


Perlunya Rekonstruksi Syariat

Persentuhan syariat Islam dengan gagasan-gagasan di atas; negara-bangsa, HAM, gender, dan pluralisme, memang merupakan ekses lain dari perjumpaan antara peradaban Barat dan Islam. Hampir seluruh gagasan itu lahir dan besar di Barat. Di sisi lain, Islam ternyata dianggap dan diyakini tidak memiliki gagasan seperti itu. Oleh karenanya, para pemikir berusaha menemukan dan membuktikan bahwa pendapat seperti itu salah, dengan cara meneliti basis teologis Islam dan peradaban Islam hingga berhasil emnemukan bahwa gagasan ini justru mejadi landasan tegaknya peradaban Islam selama berabad-abad.

Konsekuensi selanjutnya dari akomodasi atas gagasan ini di antaranya adalah liberalisasi politik dari syariat Islam. Hal ini penting mengingat terdapat kesenjangan konseptual misalnya; antara nasionalisme dengan ukhuwah Islamiyah, vox populi dengan vox dei, hak-hak dan representasi politik wanita, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, pilihan selanjutnya adalah liberalisasi syariat Islam, agar sesuai dengan konsep-konsep yang mengiringi gagasan negara-bangsa.

Dari sinilah nampaknya awal dari upaya pemahaman ulang atas syariat Islam berlangsung. Bagaimana pun, meski gagasan negara-bangsa secara langsung berasal dan dipengaruhi oleh negara-negara Barat, namun desakan atas gagasan ini nyatanya berasal dari warga negara-negara Islam itu sendiri. Oleh karenanya, semestinya upaya-upaya liberalisasi syariat Islam tidak melulu dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Justru hal itu dilakukan demi kemaslahatan umat manusia.

Relasi antara agama dan negara memang seharusnya tidak dipandang secara monolitik. Negara harus secara netral bersedia menerima keberagaman pandangan dan klaim kebenaran. Jika negara tidak memiliki kesanggupan untuk mengatasi hal ini, maka akan terjadi kericuhan dan kekacauan sosial. Ancaman perpecahan dan disintegrasi akan menjadi ancaman serius setiap saat.

Walaupun pemikir-pemikir Islam berusaha menunjukkan bahwa sariat Islam dapat dikompromikan dengan gagasan seperti di atas, akan tetapi, dalam tataran politik, negara tetap harus bebas dari syariat salah satu agama. Gagasan di atas justru harus menguatkan argumen bahwa negara harus mengakomodir pluralitas masyarakat.

Hal yang lebih penting dilakukan saat ini adalah bagaimana merekonstruksi syariat Islam agar benar-benar bisa membuktikan tesis bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dan bisa mengakomodir gagasan negara-bangsa, HAM, gender dan pluralisme. Syariat Islam jangan melulu meributkan madzhab mana yang paling benar, atau penafisran bahwa Islam itu adalah din wa daulah.

Rekonstruksi syariat Islam harus berhasil melampaui perdebatan-perdebatan itu. Ada hal lain yang lebih mendesak dari hal itu. Syariat Islam lebih baik menyiapkan diri untuk mendukung gagasan Islam berperadaban. Perdaban Islam tidak bisa ditegakkan di atas otoritarianisme dan pemikiran yang monolitik.


Indonesia Sekarang; Berharap Pada Demokrasi

Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki potensi yang sangat besar untuk memulai lahirnya peradaban Islam yang terbuka dan maju, yang kelahirannya dilandasi dengan nilai-nilai universal Islam yang humanis.

Akan tetapi, Indonesia saat ini mendapatkan tantangan terutama dari pihak-pihak yang berkeinginan menegakkan syariat Islam secara formalistik. Gagasan ini tentu mengancam semangat kemajemukan bangsa Indonesia. Padahal, sudah banyak contoh penyimpangan-penyimpangan formalisasi syariat Islam yang terjadi. Terbukti, bahwa hal tersebut tidak menjadi solusi yang tepat bagi problem bangsa Indonesia.

Rakyat Indonesia saat ini bolehlah berharap pada demokrasi yang belum lama ini berjalan. Meski sesungguhnya perjalanan demokrasi masih sangat terjal dan berliku. Kita saksikan saat ini demokrasi Indonesia mengalami masalahnya sendiri. Sistem ketatanegaraan yang ada terus mendapatkan ujian dan mengalami perbaikan di sana-sini. Sistem pemilihan langsung pun mulai mengalami koreksi signifikan. Kritik di sana-sini terus dialami oleh demokrasi Indonesia. Sistem kepartaian pun tengah diguncang dengan oposisi yang tampaknya hanya bermotifkan kekuasaan belaka. Kebijakan partai-partai penguasa bisa tiba-tiba berubah-ubah tergantung pada kepentingan apa yang diusung. Selain itu, politik uang selalu lebih menentukan perubahan politik dari pada aspirasi rakyat.

Meski demikian, hal-hal ini kita bisa nilai sebagai bagian dari demokratisasi Indonesia. Yang lebih penting adalah bagaimana syariat Islam bisa menempatkan diri dalam konteks tersebut. Posisi syariat Islam paling tidak seharusnya memberikan pencerahan pada motif-motif politik. Sehingga, politik tidak kemudian hanya disemangati oleh perebutan kekuasaan belaka, akan tetapi juga dilandasi oleh semangat profetisme Islam.


DAFTAR PUSTAKA


Barlas, Asma., Cara Quran Membebaskan Perempuan, Jakarta: Serambi, 2005

Barton, Greg, Ph.D., Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1999

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), Islam, Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Konetmporer, Jakarta: Paramadina, 2005

Sholeh, Badrus (Ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren , Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007

Thaha, Mahmud Muhammad., Arus Balik Syariah, Yogyakarta: LKIS, 2003

Osman, Mohamed Fathi., Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, Jakarta: Paramadia, 2006

Wadud, Amina., Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, Jakarta: Serambi, 2006


1 Gugatan atas politisasi syariat Islam ini juga terjadi di daerah-daerah lain; seperti Cianjur, Garut, Solo, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Lihat, S. Yunanto, Pesantren dan Politik Formalisasi Syariat Islam, dalam Badrus Sholeh (Ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2007), hal. 95-96.

2 Azyumardi Azra, Syariat Islam dalam Bingkai Nation State, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), Islam, Negara dan Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Konetmporer (Jakarta: Paramadina, 2005), hal. 44.

3 Budhy Munawar-Rachman, HAM dan Persoalan Relativitas Budaya, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. (Ed.), op.cit, hal. 476.

4 Ibid, hal. 478.

5 Dikutip dalam Greg Barton, Ph.D., Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 416.

6 Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 47.

7 Amina Wadud, op.cit, hal. 87-88.

8 Baca selengkapnya di Asma Barlas, Cara Quran Membebaskan Perempuan (Jakarta: Serambi, 2005).

9 Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah (Yogyakarta: LKIS, 2003) hal. 166-167.

10 Lebih lengkapnya lihat Mahmud Muhammad Thaha, op.cit. hal. 166-175.

11 Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan (Jakarta: Paramadia, 2006), hal. 32-48)

12 Mohamed Fathi Osman, op.cit. hal 41-47.

Selengkapnya...

Jumat, 21 November 2008

8 PESERTA LULUS BERSYARAT

8 ORANG LULUS BERSYARAT
oleh: Admin

Hasil LK1 tanggal 14 s.d. 16 Nopember 2008 di Villa Ira-Cisarua lalu memutuskan seluruh peserta dinyatakan lulus, kecuali 8 orang peserta yang dinyatakan lulus bersyarat. Keputusan ini dibacakan oleh MOT LK1, Faiz, saat melantik para peserta LK1 yang berjumlah 40 orang tersebut. Suasana tegang sempat menyelimuti wajah para peserta sebelum akhirnya Faiz membacakan satu persatu nama-nama peserta yang dinyatakan lulus bersyarat.


Keputusan ini terpaksa diambil oleh tim pemandu sebab kedelapan orang yang disebutkan tersebut tidak menyelesaikan keseluruhan proses training LK1 itu. Pada hari Minggu siang, tanggal 16 Nopember 2008, mereka memutuskan untuk pulang lebih dahulu dengan alasan mempersiapkan ujian dan tugas kuliah. Meski izin pulang diberikan oleh tim pemandu, namun mereka tetap dinyatakan tidak otomatis lulus dari LK1 kali ini.
Seluruh peserta yang dinyatakan lulus bersyarat tersebut berasal dari satu komisariat yang sama, yaitu Komisariat Tarbiyah UIN. Mereka antara lain
Ana Dian Permata (PGMI UIN)
Raisa Amiyatul Hijriani (PGMI UIN)
Ade Rahmi (PGMI UIN)
Rihlah Farhati (PGMI UIN)
Nurhidayati (PGMI UIN)
Lusianah (PGMI UIN)
Amrullah (PGMI UIN)
Sahid Ahmad Dahlan (PGMI UIN)
Hingga LK1 ditutup, tim pemandu LK1 belum memberi kepastian perihal syarat apa yang harus mereka penuhi agar dinyatakan lulus LK1.
Follow up (tindak lanjut) LK1 kali ini disepakati bersama akan dilaksanakan di Danau Situ Gintung Ciputat pada tanggal 30 Nopember 2008 pukul 08.00 WIB s.d. selesai. Acara itu akan dihadiri seluruh peserta, panitia dan pemandu LK1.
Selengkapnya...

40 ORANG PESERTA LK1

40 ORANG PESERTA LK1
oleh: Admin

Latihan Kader 1 (LK1) HMI MPO Cabang Jakarta Selatan tanggal 14 s.d. 16 Nopember 2008 lalu dibanjiri oleh membludaknya jumlah peserta. LK1 itu dihadiri 40 orang peserta yang berasal dari beberapa kampus di lingkungan HMI MPO Cabang Jakarta Selatan. Jumlah itu bahkan lebih sedikit dari yang direncanakan semula, yakni sejumlah 54 orang.


keempat puluh orang itu berasal dari kampus-kampus seperti UI Jakarta, IIQ, PTIQ, STAN, UMJ dan Ma'had Usman bin Affan. 14 orang dari UIN Jakarta, 11 orang dari IIQ, 8 orang dari PTIQ, 1 orang dari STAN, 1 orang dari UMJ, dan 4 orang dari Ma'had Usman bin Affan.
LK1 ini sendiri dilangsungkan di Villa Ira, Cisarua, Puncak-Bogor. Panitia LK1 kali ini dikerjakan secara rombongan oleh komisariat-komisariat di lingkungan HMI MPO Cabang Jakarta Selatan, antara lain: Komisariat Tarbiyah UIN, Komisariat Alternatif UIN, Komisariat PTIQ dan Komisariat IIQ.
Jajaran kepemanduan LK1 dipimpin oleh Faiz sebagai MOT (Master of Training) dan dibantu oleh Syamsu Akmal dan Bahrul Haq Al-Amin sebagai asisten MOT. Mereka dibantu oleh pemandu lainnya yang berasal dari HMI MPO Cabang Jakarta Selatan sendiri.
LK1 kali ini menghadirkan beberapa pengisi materi, antara lain Sunardi Panjaitan (pemateri Keyakinan Muslim), Ade Chandra (pemateri Wawasan Ilmu), Bahrul Haq Al-Amin (pemateri Wawasan Sosial dan Etos Perjuangan), Muhammad Anas (pemateri Asas, Tujuan dan Independensi), M. Dzil Bakir (pemateri Kepemimpinan), dan Elfi Fitriah Mas'ud (pemateri Hari Kemudian).
Latihan Kader 1 itu ditutup dengan dilantiknya keseluruhan peserta yang lulus, kecuali 8 orang yang dinyatakan LULUS BERSYARAT. Adapun predikat peserta terbaik diraih oleh Farid Waliyuddin Rusydi dari STAN, dan Kuntriksi dari IIQ.
Selengkapnya...

Ideologi Suicide Bombers

Ideologi Suicide Bombers
Moh. Syifa Amin Widigdo*

Memang tidak mudah untuk mendapatkan keakuratan analisis atas motif di balik kerelaan seseorang untuk melakukan bom bunuh diri (suicide bombing). Sebab masing-masing pelaku mempunyai konteks sosial dan sejarah yang beragam. Namun demikian, bukan tidak mungkin bagi kita untuk mengenali argumentasi dan konteks sosio-politik para pelaku. Dari situ, klasifikasi umum ideologi politik maupun keagamaan yang mereka peluk dapat diidentifikasi. Berikutnya, adalah tugas kemanusiaan kita untuk melumpuhkan sandaran logika dari ideologi yang melahirkan kekerasan dan kerusakan yang meluas itu.


Pengakuan Ny. Sajida Mubarak Atrous Rishawi di Jaringan Televisi Jordania pada13 November kemarin sedikit membuka tabir motif bom bunuh diri. Selain perspektif politik yang sering dipropagandakan oleh Abu Musab al-Zarqawi, para pelaku mempunyai motivasi tersendiri. Dari perspektif pelaku, aksi bunuh diri tidak hanya terkait dengan alasan teologis dan perjuangan politik, tapi juga balas dendam. Tewasnya tiga adik Rishawi; Thamir, Ammar dan Yasir di tangan pasukan AS, diduga merupakan alasan kenapa Rishawi berani melakukan tindakan nekad tersebut. Hanya saja, pelampiasan dendam tersebut tidak bisa dibenarkan. Karena, yang menjadi korban adalah masyarakat sipil yang tidak berdosa, yang tidak ada kaitanya sama sekali dengan AS.
Lain halnya dengan alasan di balik Bom Bali II. Seperti yang dapat ditangkap dari tayangan video yang diputar oleh Wapres bersama sejumlah ulama, di dalamnya mereka mencatut ajaran agama dan juga perlawanan politik. Dari suara yang diduga kuat Noordin M. Top, tampak semangat politiknya begitu kuat. Ia menyebut Amerika, Australia, Inggris, dan Italia sebagai musuh. Namun para pelaku rupanya lebih tergiur oleh opium keagamaan yang ditawarkan Noordin, seperti kekayaan hati dan surga. Salik Firdaus selaku Pelaku I ingin mendapatkan kekayaan hati melalui jihad (bom bunuh diri) untuk mendapatkan surga. Pelaku II, Misno, menggambarkan syahid sebagai perjalanan menuju surga. Ia percaya bahwa ruhnya akan langsung masuk perut burung hijau yang terbang ke surga. Alasan-alasan seperti ini pulalah yang membuat Imam Samudra, Pelaku Bom Bali I dalam bukunya Aku Melawan Teroris, mengaku tidak ambil pusing terhadap orang-orang yang tidak sepakat dengan tindakan dan pemikirannya.
Dari beberapa pengakuan para teroris di atas, motif para manusia bom itu dapat dikelompokkan dalam dua kategori; teologis dan politis. Lacurnya keduanya mendapatkan tempat yang subur di atas lahan kemiskinan dan keputusasaan menghadapi problematika hidup (eskapisme). Walhasil, jalinan antara alasan keagamaan, politik, dan lahan kemiskinan tersebut memperkokoh keyakinan para pelaku untuk menjadi suicide bombers.
Berbeda dengan konteks pemboman yang dilakukan oleh Rishawi, teror bom di Indonesia lebih sulit dinalar oleh akal. Sebab di Indonesia tidak ada preseden motif pembalasan dendam untuk bom bunuh diri. Mungkin alasan politik bisa dipakai. Tapi itu hanya relevan jika dipakai oleh orang seperti Bung Tomo ketika menggerakkan pemuda-pemuda Surabaya melawan penjajah Belanda dulu. Sekarang, jelas bahwa Indonesia bukanlah negeri jajahan militer (battlefield) seperti Irak atau Palestina.
Tampaknya, para manusia bom itu mempunyai semangat yang dalam tradisi Kristen disebut sebagai kanonisasi. Christina Ordone dalam The Power of Martirdom (2004) mencatat kanonisasi adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menggambarkan kenaikan derajat secara drastis dari orang biasa menjadi seorang Santa. Orang biasa bisa masuk surga secara langsung.
Berbanding lurus dengan konsep ini, melalui pemahaman yang reduksionis atas doktrin syahid (martyrdom) dan jihad, para manusia bom itu (suicide bombers) bermimpi dapat mencapai tingkat kesalehan para wali dan orang-orang saleh. Dalam istilah Misno, mereka dapat terbang ke surga dengan memasuki perut burung hijau. Benarkah demikian?
Memang dalam Islam, shahadah (martyrdom) memiliki akar keagamaan. Menurut mufti resmi Kerajaan Arab Saudi, Abdul Jalil Sajid," shahadah adalah sebuah istilah yang dipilih untuk penghormatan bagi mereka yang mati untuk mempertahankan keimanannya." Dengan demikian, alasan teologis yang dikemukakan para pelaku tidak dapat dijustifikasi. Sebab pilihan mati syahid tidak dapat digunakan dalam kerangka ofensif, melainkan defensif, yakni mempertahankan keimanan. Kalaupun aksi itu dilakukan di sebuah medan perang (battlefield), Rasulullah SAW juga pernah menentukan etikanya. Yakni, "Jangan melanggar aturan atau berkhianat. Jangan bunuh atau lukai wanita, anak kecil, dan orang tua."
Lebih jauh, Syaikh al-Azhar pernah mengatakan bahwa semua bentuk peledakan yang menyebabkan kematian perempuan dan anak-anak adalah aksi kriminal. Itu hanya dilakukan oleh seorang pengecut dan pengkhianat. Seorang yang rasional dengan sedikit sifat keutamaan saja tidak mau melakukan aksi semacam itu (John Keslay, Suicide Bombers, 2002).
Bertolak dari itu, bagaimana mungkin manusia-manusia bom tersebut bisa terbang ke surga, sementara korban mereka adalah warga sipil (civilians, non-combatants). Bagaimana mungkin mereka mendapatkan status Syahid (Martyr), sedang tempat mereka meledakkan bom adalah Indonesia, negeri yang damai (dar el-shulh), bukan negeri yang dalam keadaan perang (dar el-harb).
Atas itu, ideologi yang tampak dari tindakan dan pengakuan mereka adalah ideologi kekerasan dan pemujaan atas kematian itu sendiri. Hal ini ditunjang oleh adanya akar-akar yang mengukuhkannya, seperti pemahaman keagamaan yang menyimpang, kemiskinan, dan campur-aduk dengan tujuan politik yang tidak jelas. Mungkin juga ada rasa frustasi, eskapisme, dan keinginan untuk sekedar menunjukan eksistensi diri.
Agar para teroris itu tidak mengacak-acak Indonesia lagi, maka perlu pendakatan yang komprehensif untuk mencegahnya. Paling tidak ada tiga pendekatan yang secara simultan musti dilakukan. Pertama, pendekatan kultural melalui pendidikan keagamaan yang benar. Kedua, pendekatan kebijakan ekonomi yang mereduksi kesenjangan antara kaya-miskin secara radikal. Ketiga, pendekatan politik melalui undang-undang yang melindungi warga negara dari segala bentuk ancaman terorisme.
Wallahua`lam bis shawab.

Download artikel ini:
http://rapidshare.com/files/165864684/Ideologi_Kematian.rtf.html
Selengkapnya...

MERANCANG KEPEMIMPINAN KAUM MUDA

MERANCANG KEPEMIMPINAN KAUM MUDA
Oleh : Sunardi Panjaitan

Reformasi yang sudah berjalan 10 tahun, ternyata tidak memberikan dampak positif bagi perjalanan bangsa ini. Terbukti setelah 10 tahun reformasi, masalah yang datang silih berganti menimpa negeri ini. Di mulai dari tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, korupsi yang semakin merasuki sendi-sendi kehidupan negara (data Kompas 21/07/08, hampir diseluruh Indonesia terjadi korupsi oleh pejabat negara) tidak hanya di daerah, anggota DPR bahkan semakin banyak yang terlibat korupsi), serta lemahnya penegakan hukum.


Banyaknya masalah yang menerpa negeri ini, diakibatkan tidak adanya manajemen kenegaraan yang baik. Ironisnya, pejabat-pejabat yang saat ini duduk dalam struktur pemerintahan, masih didominasi oleh orang-orang yang menikmati kenikmatan menjadi penguasa selama orde baru berkuasa. Hal ini disebabkan gerakan kaum muda dan mahasiswa pada awal reformasi hanya memberikan cek kosong kepada penguasa.
Di akui atau tidak, gerakan mahasiswa pada 1998, hanya bertujuan untuk menjatuhnya rezim orde baru, tanpa mempersiapkan skenario kepemimpinan yang akan menggantikan rezim tersebut. Pada titik ini, gerakan mahasiswa bisa dikatakan gagal dalam proses kepemimpinan.
Setelah reformasi berhasil dan Soeharto sebagai penguasa orde baru turun dari kursi kepresidenan, tidak sepenuhnya berani untuk tampil dalam politik praktis. Hal ini berlangsung sampai saat ini. Kaum muda masih enggan untuk terjun langsung dalam politik. Kaum muda lebih memilih untuk berkarir diluar politik. Tiap hari, media-media nasional, di isi oleh tulisan-tulisan aktivis muda yang berisi kritik dan hujatan terhadap pemerintah.
Kenyataan bahwa saat ini, kehadiran kepemimpinan kaum muda dalam politik Indonesia, semestinya disadari oleh kaum muda Indonesia. Kesadaran yang diharapkan mendorong segenap kaum muda untuk segera mempersiapkan dan merancang prosesi pergantian generasi. Karena pada hakikatnya kita membutuhkan wajah-wajah baru. Sehingga muka lama yang hampir usang itu bisa tergantikan dengan muka baru yang lebih muda serta juga memiliki cita-cita dan semangat baru.  
Indonesia membutuhkan pemimpin dari kaum muda yang mampu merepresentasikan wajah baru kepemimpinan bangsa.  Ini bukan tanpa alasan, karena kaum muda dapat dipastikan hanya memiliki masa depan dan nyaris tidak memiliki masa lalu. Dan ini sesuai dengan kebutuhan Indonesia kini dan ke depannya yang perlu mulai belajar melihat ke depan, dan tidak lagi berasyik-masyuk dengan tabiat yang suka melihat ke belakang. Kita harus segera maju ke kepan dan bukan berjalan ke masa lalu. Dan secara filosofisnya, masa depan itu adalah milik kaum muda.
Keengganan kaum muda untuk terlibat langsung dalam politik praktis seperti partai politik harus segera ditinggalkan. Dalam sistem demokrasi Indonesia, partai politik masih menjadi jalan utama untuk mencapai tujuan dalam proses politik. Walau calon independen sudah dibuka, namun peluangnya masih terlalu kecil. Masih bertahannya muka-muka lama dalam kepemimpinan nasional bukan sepenuhnya salah politikus lama, akan tetapi didukung juga oleh keengganan kaum muda untuk masuk ke dalam jalur utama perpolitikan tersebut.
Disamping itu, kaum muda harus menyamakan persepsi tentang urgennya kepemimpinan kaum muda dalam menjawab kebutuhan bangsa ke depan. Urgensi kepemimpinan kaum muda yang disadari oleh pemikiran kolektif bahwa generasi pemimpin yang ada saat ini sudah berumur tua dan layak untuk diganti dengan generasi yang lebih muda. Inilah kesamaan persepsi yang diharapkan memacu para pemuda untuk bersungguh-sungguh mempersiapkan diri sebagai pemimpin dan mengambil kepemimpinan itu pada saatnya tiba. Jadi, cita-cita memimpin dari para pemuda benar-benar diharapkan ada di dalam dada mereka, baik secara individu maupun organisasi.
Seiring dengan berbagai upaya di atas, gerakan moral dan intelektual dalam memperbaiki akhlak bangsa juga menjadi agenda utama kaum muda dalam hal mempersiapkan pergantian generasi. Sehingga generasi yang muncul tidak hanya pada tataran kepemimpinan semata, tetapi lebih dari itu, pemimpin dari generasi baru juga memimpin masyarakat generasi baru yang lebih bermoral, lebih intelektual dan lebih berakhlak. Jadi, upaya-upaya persiapan pergantian generasi oleh kaum muda tidak hanya pada tataran struktural saja, tapi juga berbarengan dengan upaya-upaya kultural di kalangan akar rumput.
Kini, keberanian kaum muda benar-benar diuji. Terutama keberanian untuk muncul ke tengah-tengah masyarakat dan ikut dalam percaturan kepemimpinan. Keberanian ke tengah masyarakat lebih kepada nyali untuk menjadi orang baik, membina masyarakat, menjadi teladan dan tokoh yang mencerahkan mereka. Sedangkan pada percaturan kepemimpinan, pilihannya tentu lebih kepada keikutsertaan kaum muda dalam ranah politik praktis dan kepemimpinan institusi-institusi publik.

Download artikel ini:
http://rapidshare.com/files/165862781/MERANCANG_KEPEMIMPINAN_KAUM_MUDA.rtf.html

Selengkapnya...

MENGGAPAI MA’RIFAT DENGAN CINTA

MENGGAPAI MA’RIFAT DENGAN CINTA
Oleh: Amin Mubarok

Cinta adalah fitrah dari Tuhan. Setiap manusia butuh untuk mencintai dan dicintai. Segala sesuatu akan terasa hampa tanpa cinta. Karena cinta, panasnya padang pasir akan berubah menjadi embun yang menyejukkan hati yang begitu kering dan sebutir debu akan berubah menjadi emas yang begitu berharga.


Cinta tak akan pernah habis untuk diungkap, takkan pernah pernah kering tuk digali. Ia indah, ia murni. Ia akan terus bersinar walau waktu telah membuat dunia berakhir. Ia akan tetap ada dan terasa, walau jarak yang begitu jauh telah menjadi pemisah.
Ketika kita jatuh cinta, itu adalah hari yang membuat kita tidak bisa melupakan ia yang kita cinta. Menatapnya adalah kebahagiaan yang tak bisa terlupakan. Senyumannya adalah pelepas dahaga bagi jiwa-jiwa yang merindukan ketenangan.
Cinta memang indah, namun dibalik keindahan cinta, jika nafsu telah mengendalikannya maka sungguh kita telah menjadi buta. Cinta yang hakiki adalah cinta kita kepada Allah. Karena Dialah sumber cinta dan keindahan dan Dialah sumber cahaya dari segala kegelapan.
Ketika cinta telah mengisi ruang hati kita untuk seseorang, cintailah ia karena Allah. Dan ketika hati tak kuasa menolak rasa benci kepada seseorang, bencilah ia karena Allah. Kekecewaan yang timbul karena hati yang tersakiti adalah karena cinta kita masih terdorong nafsu. Jika tidak, kita akan mengembalikan semuanya kepada Allah Rabbul Izzati.

Antara Ma’rifat dan Cinta
Ma’rifat berarti mengetahui atau mengenal. Tapi dalam ilmu tasawwuf ma’rifat berarti mengenal Allah secara langsung. Melalui hati kita, Allah telah membukakan hijab yang menjadi penghalang antara kita dan diriNya, hingga kita telah mengenal diri-Nya di dalam diri kita.
Lantas apa hubungan antara cinta dengan ma’rifat? Para wali Allah telah mendapatkan ma’rifat melalui sikap zuhud, wara’, khauf, raja’, tawadlu’, tawakkal, dan sabar sedangkan cinta (Mahabbah) adalah yang termasuk di antaranya.
Manusia pada, dasarnya, hidup untuk mengabdi kepada Tuhan-nya. Ada banyak jalan yang tampaknya dianjurkan oleh ajaran agama tradsional kepada manusia untuk menjamin pertumbuhannya yang sejati atau realisasinya untuk mencapai tingkatan-tingkatan kesempurnaan yang lebih tinggi. Di antara jalan-jalan ini, cinta kepada Allah menjadi tradisi agama universal umat manusia sebagai sarana terbaik untuk realisasi spiritual dan perkembangan diri.

Mengapa kita perlu mencintai Allah?
Para nabi dan wali bisa mencintai Allah sedemikian hebatnya, karena mereka bisa menemukan dan merasakan keindahan Allah SWT. Hingga saat ini kita sulit merasakan kehadiran cinta kepada Allah karena kita belum menemukan keindahan diri-Nya.
Salah satu keindahan yang bisa kita temukan pada Allah adalah kasih sayang-Nya yang begitu besar pada kita. Kalau kita mau menghitung berapa banyak ni’mat yang Allah berikan kepada kita, tentu kita akan menyadari betapa Allah begitu menyayangi kita. Betapapun banyak dosa yang telah kita lakukan dan betapapun sering kita mengingkari perintah-Nya, kita masih bisa merasakan ni’mat Allah yang begitu melimpah, kita masih bisa makan setiap hari, masih bisa tertawa, dan masih bisa menjalani hidup ini dengan semangat.
Dalam hadits dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan Rahmah (kasih sayang) dalam jumlah 100, di antara keseratus itu sembilan puluh sembilan telah Allah tahan untuk diberikan kepada orang yang mendapatkan kemenangan di akhirat, sedangkan satu rahmat telah Allah berikan kepada kita di bumi.
Jika di dunia ini tak ada Rahmat (kasih sayang Allah), matahari tak akan bersinar untuk memberi kehangatan untuk semua makhluk, tanaman tak akan tumbuh untuk memenuhi kebutuhan kita akan makanan, air tak akan mengalir untuk menghilangkan rasa dahaga. Kita tahu bahwa Allah begitu pengasih, mengapakah tidak kita menyayangi dan mencintai diri-Nya yang begitu sayang kepada kita.
Dan oleh karena itu, di dalam Al Quran, telah berulang kali Allah memperkenalkan diri dengan nama al Wadud yakni Yang Maha Menyayangi :
“Dan mintalah ampun kepada Tuhanmu, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengasih dan Penyayang” (QS Hud [11]:90).
“Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih” (QS Al-Buruj [85]:13-, ditempat lain:
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, kelak Allah Yang Maha pemurah akan menanamkan ke dalam (hati) mereka rasa kasih sayang” (QS Maryam [19]:95-6)
Allah, Dialah Dzat yang paling mendengar atas segala keluh kesah kita, Dialah Dzat yang paling peduli atas masalah kita, dan Dia pula Dzat yang selalu menolong kita dari segala kesulitan.
Al Quran menyatakan bahwa Allah tidak dapat digambarkan dan bahwa tidak sesutau pun yang menyerupai diri-Nya dan, lebih jauh lagi, bahwa apapun apa yang dikatakan orang tentang-Nya. Dia melampaui semuanya itu dan oleh karena itu, pada mulanya akan sulit memahami bagaimana kita bisa mencintai apa yang belum pernah kita lihat dan dapat kita bayangkan. Sebab, cinta mensyaratkan gambaran dan pengelihatan apa yang dicintai dan daya tarik yang dipancarkan oleh kehadirannya pada indra manusia.
Namun, bukanlah hal yang tidak mungkin bagi kita untuk bisa mencintai Allah. Seorang Rabiah al Adawiyah, ia bisa mencintai Allah sebegitu dalamnya karena di hatinya ia meyakini akan adanya Allah dan kehadiran-Nya serta merasakan keindahan diri-Nya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan alasan mengapa kita perlu mencintai Allah, Pertama, karena Allah begitu sayang kepada kita, jika kita bisa mencintai orang-orang yang menyayangi kita, maka mengapa tidak kita mencitai Dzat yang lebih menyayangi kita. Kedua, karena kita membutuhkan diri-Nya. Kepada siapa lagi kita akan meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah, sedangkan Dia adalah Dzat yang Maha pemberi pertolongan. Ketiga, karena Allah itu Maha Indah. Jika kita bisa mencintai manusia karena keindahan mereka, sesungguhnya Allah itu lebih dari seluruh makhluk yang ada di langit dan bumi. Keempat, mengapa kita perlu mencintai Allah, karena mencintai Allah akan membuat kita dicintai-Nya, kalau Allah sudah mencintai kita, Allah akan membukakan pintu ma’rifat untuk kita dan Dia akan menuntun kita kemanapun kita melangkah. Seburuk apapun keadaan kita, sejauh apapun kita telah salah melangkah Allah akan menuntun kita kembali ke jalan-Nya.

Download artikel ini:
http://rapidshare.com/files/165862352/CINTA.rtf.html

Selengkapnya...

Kamis, 20 November 2008

EDITORIAL: PESAN DARI AMERIKA UNTUK INDONESIA


PESAN DARI AMERIKA UNTUK INDONESIA

Pesta demokrasi terbesar Amerika Serikat berakhir pada tanggal 4 November 2008 lalu. Kandidat presiden dari Partai Demokrat Barack Hussein Obama dinyatakann sebagai pemenang dan akan menjadi Presiden Amerika Serikat ke-44. Sementara rival utamanya, kandidat Presiden dari partai republik, John McCain harus menerima kenyataan kalah dalam pemilu yang terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat.


Obama sukses mengejar mimpinya untuk menjadi presiden keturunan Afrika-Amerika pertama dalam sejarah presiden Amerika Serikat, sementara John McCain gagal menolerkan sejarah sebagai Presiden tertua di Amerika Serikat.

Jika melihat realitas dari pelaksanaan pemilu di Amerika Serikat, ada beberapa catatan penting yang bisa dijadikan pembelajaran politik bagi Indonesia. Pertama, dengan sistem politik yang sangat terbuka, Amerika Serikat mampu menghasilkan pemimpin muda alternatif. Meskipun melalui jalur partai politik, Obama yang sebelumnya tidak dikatahui oleh publik Amerika, dalam masa 4 tahun mampu tampil sebagai calon pemimpin muda alternatif.

Di Indonesia, kepemimpunan kaum muda sebagai alternatif pemimpin masa yang akan datang masih sebuah wacana bahkan mitos yang seakan sangat sulit untuk terjadi. Beberapa tokoh nasional yang saat ini menyatakan maju dalam pilpres 2009 yaang akan datang masih didominasi oleh kaum tua. Meskipun ada beberapa tokoh muda yang berkeinginan menjadi calon presiden, seperti kesulitan karena tidak punya kenderaan politik yang jelas. Belajar dari pemilu di Amerika Serikat, sudah saatnya pemimpin muda alternatif yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas dalam memimpin diberikan porsi yang besar untuk menjadi pemimpin Indonesia di masa yang akan datang.

Kedua, kedewasaan berpolitik. Setelah mengetahui bahwa Obama telah i memenangkan pemilu Amerika Serikat, John McCain menelpon Obama dan menyampaikan selamat atas kemenangannya. Dia dengan besar hati menerima kekalahannya dari rivalnya, Barack Obama.

Dihadapan pendukungnya, John McCain mengajak seluruh pendukungnya untuk mengucapkan selamat atas kemenangan Barack Obama sebagai presiden Amerika. Dalam pidatonya, John McCain mengatakan “saya akan mendoakan orang yang sebelumnya menjadi lawan saya semoga berhasil dan menjadi presiden saya”.

Kedewasaan yang diperlihatkan oleh John McCain dengan menelpon, mengucapkan selamat kepada Obama, dan mengakui kekalahannya adalah bentuk dari kedewasaan berpolitik tingkat tinggi. Dan yang paling penting dia mengajak seluruh pendukungnya untuk mendukung presiden terpilih sehingga tidak menimbulkan kekacauan dan konflik.

Hal ini mungkin menjadi barang yang sangat langka di Indonesia. Bagi pemimpin di Indonesai kekalahan adalah sebuah hal yang tidak bisa diterima dan harus dibela mati-matian. Bahkan dengan cara kekerasan sekalipun untuk mendapatkan kemenangan walaupun dengan melakukan rekayasa. Walaupun sudah dinyatakan kalah dalam pemilihan sebisa mungkin akan mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain atas kekalahan yang dialami. Ketika kalah dalam proses hukum yang berjalan, maka akan dilakukan banding, dan jika banding kalah lagi, maka kasasi pun dilakukan. Bahkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi
menjadi jalan yang dipergunakan untuk melawan hukum yang berlaku. Tidak hanya itu, pengerahan massa yang besar menjadi keseharian di negara ini ketika calonnya kalah dalam pemilihan.

Di negara ini, orang hanya berani menerima kekemenangan dan tidak dapat menerima kekalahan. Suporter sepak bola akan marah ketika timnya kalah. Pemimpin parpol yang kalah dalam kongres atau muktamar partai akan membentuk partai baru. Pengacara akan menyalahkan hakim ketika kliennya kalah. Dan pendukung calon bupati atau gubernur akan mengamuk ketika calonnya kalah. Mengapa kedewasaan dalam berpolitik dan menerima kekalahan tidak ada di negara ini? Bukankah menerima kekalahan merupakan keluhuran budi dan kerendahan hati serta bentuk dari kedewasaan diri.

Bagi sebahagian orang di negara ini, hidup ini selalu berisi dengan kemenangan. Kalah memang menyakitkan dan kesakitan itu harusnya membuat kita mawas diri. Bukan lantas menuduh orang lain dan mencari kambing hitam atas kekalahan yang kita alami. Sungguh ini watak dari bangsa ini yang sangat memprihatikan. Kita harus belajar untuk dewasa dalam menerima kekalahan dari John McCain. Kalau dia bisa melakukan itu, mengapa pemimpin di negara ini atau kita semua tidak bisa?..

Tim Redaksi.

Download Editorial ini:
http://rapidshare.com/files/165579387/EDITORIAL_LAPMI_II.rtf.html
Selengkapnya...

Jumat, 07 November 2008

Media Mengawal UU Pornografi


Media Mengawal UU Pornografi

Oleh: Bahrul Haq Al-Amin (Litbang LAPMI Jaksel)


Sebelum disahkan pada tanggal 30 Oktober 2008 lalu, UU Pornografi mendapat banyak sorotan dari media massa. Sekarang, setelah akhirnya undang-undang kontroversial itu disahkan, akankah UU Pornografi tetap mendapat kawalan dari media?




Meskipun telah disahkan beberapa hari lalu, hingga saat ini angin penolakan terhadap UU Pornografi toh masih terdengar. Dalam edaran di mailing list, masih terdapat kelompok masyarakat yang menyatakan penolakannya terhadap undang-undang itu. Sebagai contoh yaitu organisasi NIM (National Integration Movement) yang masih menyebarluaskan petisi penolakan terhadap UU Pornografi. Dalam petisinya, NIM menganggap bahwa negara telah mengabaikan berbagai keberatan yang disampaikan oleh masyarakat, seperti di daerah DIY, Bali, Sulawesi Utara dan Papua. NIM masih mengkhawatirkan potensi disintegrasi yang dimiliki oleh UU Pornografi itu. Selain NIM, elemen civil society lainnya seperti kalangan seniman, sastrawan dan insan entertainment tanah air masih khawatir atas beberapa pasal yang dianggap mengancam profesi atau dianggap kurang jelas sehingga berpotensi memprovokasi masyarakat. Adapun di kalangan politisi, telah jelas dua fraksi di DPR – yaitu Fraksi PDI-P dan Fraksi PDS – sejak Rapat Paripurna pengesahan RUU Pornografi telah memutuskan untuk menolak undang-undang itu.

Di lain pihak, para pendukung UU Pornografi sepertinya telah menganggap selesai perjuangan mereka dalam mengusung undang-undang itu. Dalam beberapa pemberitaan di media, suara dukungan terhadap undang-undang itu seakan menghilang sesaat setelah pengesahan.

Perbedaan penyikapan atas UU Pornografi antara pendukung dan penolak menjadi terlalu nyata. Para penolak undang-undang menunjukkan suatu sikap yang jelas dan akan meneruskan protes mereka ke meja hijau dalam bentuk judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Adapun para pendukung seakan sudah merasa puas saja dengan keputusan disahkannya undang-undang itu.

Permasalahannya kemudian ialah siapa yang akan mengawal implementasi dari UU Pornografi tersebut? Sejatinya, para pendukung undang-undang itulah yang paling bertanggung jawab dalam mengawalnya. Sebab, sejak awal diprosesnya UU Pornografi, mereka senantiasa berusaha mengelak saat dikatakan bahwa undang-undang itu identik dengan identitas politik keagamaan tertentu – dalam hal ini syariat Islam –. Para pendukung UU Pornografi juga cenderung membela undang-undang itu ketika dituduh berpotensi memecah-belah bangsa ataupun mendiskriminasi kaum perempuan. Mereka malah sangat yakin bahwa undang-undang itu hanya dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya industri pornografi yang sangat berbahaya terhadap generasi bangsa. Karenanya, pantaslah jika sekarang mereka bertanggung jawab untuk mengawal implementasi undang-undang itu agar sesuai dengan niat awal dibuatnya, serta tetap menghindari berbagai isu yang dialamatkan terhadapnya.

Malangnya, tanggung jawab itu tidak segera dipikul oleh para pendukung UU Pornografi. Mereka cenderung sudah merasa puas dan lepas tangan atas kelanjutan undang-undang itu. Padahal, inilah yang sangat berbahaya. Sebab, pertama, undang-undang itu akan segera menjadi mudah diserang kembali oleh para penolaknya. Kedua, UU Pornografi juga potensial untuk diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga membuktikan berbagai kekhawatiran, tuduhan dan isu-isu yang sejak lama dialamatkan terhadap undang-undang itu.


Media Yang Mengawal

Karenanya, harapan bisa kita gantungkan di pundak media massa (pers). Media harus tetap meneropong dan waspada dalam mengawal UU Pornografi. Implementasi dari undang-undang ini sebaiknya tetap direkam oleh media. Terlepas dari subjektifikasi media massa itu sendiri. Tapi, paling tidak informasi dan kemajuan dari undang-undang itu tetap disampaikan pada publik.

Memang, tentang pengawalan oleh media ini bukan tanpa rintangan. Industri media toh merupakan bisnis tersendiri, di mana mereka hanya akan mengabadikan sebuah peristiwa jika bernilai tinggi dan cukup kontroversial. Maksudnya, media juga sebenarnya mengandalkan kawalan dari masyarakat dan perkembangan tanggapan mereka atas undang-undang itu. Sumber berita media massa memang masyarakat itu sendiri. Namun, untuk saat ini, berita tentang UU Pornografi paling-paling hanya akan datang dari para penolak undang-undang itu. Sehingga berita yang akan ditampilkan menjadi cukup monoton. Hanya akan berkisar pada suara-suara penolakan yang diulang-ulang. Sedangkan pengawalan dari para pendukung teramat minim.

Problem lain yang muncul ialah kenyataan bahwa industri media sendiri menjadi salah satu objek sasaran UU Pornografi. Artinya, kemunculan undang-undang ini tentu saja otomatis menjadi lampu kuning bagi kebebasan pers itu sendiri. Maka menjadi wajar, jika beberapa media secara subjektif akan menghindari untuk menayangkan berita terkait dengan undang-undang tersebut.

Meskipun demikian, tugas media tetap tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di antara sudut pandang yang perlu diambil oleh media dalam mengawal UU Pornografi antara lain: pertama, media harus mendorong negara untuk menjaga implementasi undang-undang itu agar senantiasa tidak mendiskriminasi kelompok-kelompok masyarakat tertentu, semisal perempuan serta industri seni dan pariwisata, sebagaimana selama ini sering ditakutkan. Negara juga sebaiknya menekan pemerintah daerah untuk tidak menganggap undang-undang ini sebagai peluang dalam menelurkan peraturan-peraturan daerah yang bernuansa salah satu identitas agama. Media selanjutnya harus mengingatkan negara bahwa perempuan dan anak sejatinya harus menjadi pihak yang dilindungi dan bukannya turut dipersalahkan atas industri pornografi.

Kedua, media sebaiknya memberi koridor yang tepat pada masyarakat mengenai maksud peran serta masyarakat, seperti yang disebutkan dalam UU Pornografi pasal 20 dan 21. Maksudnya, media harus meluruskan acuan peran serta masyarakat dalam membatasi industri pornografi agar tetap berpegang pada prosedur hukum yang berlaku. Hal ini sangat penting sebab beberapa waktu lalu, beberapa kelompok masyarakat terkenal senang sekali bertindak main hakim sendiri dalam memberantas beberapa fenomena sosial yang biasa disebut maksiat. Kelompok masyarakat ini memang telah melalui prosedur hukum yang berlaku, namun pada akhirnya mereka tidak puas dan menempuh cara sendiri-sendiri. Inilah yang juga harus diawasi oleh media massa.


Kembalikan Pada Niat

Memang benar bahwa kewajiban untuk mengawal UU Pornografi tidak hanya tugas media massa saja. Masyarakat Indonesia secara luas yang wajib menanggung itu semua. Seluruh elemen bangsa ini, baik yang mendukung maupun yang menolak, harus kembali ingat niat awal dalam mensahkan undang-undang ini. Bahwa undang-undang ini berusaha menyelamatkan masa depan bangsa dari kehancuran standar moralitas dan etika masyarakat. Kita juga harus ingat bahwa UU Pornografi sama sekali tidak mutlak identik dengan salah satu identitas keagamaan tertentu. Bahkan, ada atau tidaknya undang-undang ini tidaklah penting jika mengingat niat awal kita ini, asalkan syaratnya semua elemen bangsa tetap sepakat untuk mempersiapkan masa depan bangsa yang lebih bermartabat.

Karenanya, menjadi ironis jika undang-undang ini dikhawatirkan akan membawa disintegrasi bagi bangsa. Hemat saya, isu ini sebaikanya kita hindari sebab hanya akan menghembuskan ketegangan dalam kehidupan berbangsa kita. Disintegrasi bangsa adalah sesuatu hal yang mutlak harus kita hindari apapun tanggapan kita terhadap UU Pornografi.

Terakhir, semoga media-media di Indonesia berada pada garis terdepan dalam mengawal implementasi undang-undang yang terkenal kontroversial ini. Semoga, dengan begitu, kaum pendukung UU Pornografi segera tersadar bahwa merekalah yang paling bertanggung jawab dalam menjaga undang-undang itu tetap pada koridor hukum yang benar. Semoga!





Selengkapnya...

Kamis, 06 November 2008

LK1 (Basic Training) Tgl. 14-16 Nopember 2008


"Reaktualisasi Makna Organisasi Perkaderan; HMI Menjunjung Martabat Bangsa Dimata Dunia"

Dasar Pemikiran

Tahun 1900 merupakan tahun awal munculnya berbagai organisasi yang mempunyai kekuatan hukum dan pengaruh dimata bangsa-bangsa penjajah Eropa, diantara awal munculnya organisasi itu adalah Tiong Hoa Hwee Koan (1900) yang merupakan organisasi Tiongkok, organisasi Jami’atul Khair (1902) khusus bagi bangsa Arab yang ada di tanah Hindia dengan tujuan mendidik bangsanya untuk dapat menyesuaikan diri dengan zaman modern. Sedangkan di Indonesia, organisasi kepemudaan yang berhasil mengangkat martabat pribumi indonesia baik dimata hukum kolonialisme Belanda maupun dikalangan pergaulan dunia adalah organisasi kepemudaan yang diberi nama Budi Utomo (1908), kemunculan organisasi inipun tidak lepas dari pengamatan para intelektual pribumi dengan melihat kondisi masyarakat pribumi indonesia maupun kedudukan indonesia di lingkungan dunia.


Sedangkan organisasi dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam (14 Rabiul Awal 1366/5 Februari 1947) didirikan sebagai wadah umat islam demi menyalurkan aspirasi-aspirasi dan hak-hak kaum muslim dibumi Indonesia dengan tetap berindependensi keislaman, yaitu mencetak kader-kader yang mempunyai potensi keilmuan dan tetap menjunjung tinggi islam sebagai ranah perjuangannya, juga sebagai organisasi sosial demi memajukan putra-putra bangsa dengan mempersiapkan kader-kadernya memasuki zaman modern. Maka sebagai organisasi perkaderan, kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mempunyai tanggung jawab secara spirit keislaman dan moral kebangsaan untuk memajukan bangsa Indonesia yang siap dalam menghadapi persaingan global, dengan mengangkat kembali martabat negara "Indonesia" ini dimata dunia, sehingga mampu menghilangkan ungkapan pilu bahwa masyarakat Indonesia adalah "bangsa yang tetap tidur dalam impian yang kacau tapi indah".
Munculnya organisasi Budi Utomo dinilai sangat tepat ketika bangsa ini dalam kondisi berpijak untuk bangkit dari kolonialisme Belanda, ketika bangsa ini mulai sadar bahwa pribumi Indonesia selama ini telah dijajah dan diperbudak oleh kepentingan penjajah, ketika mulai adanya kesadaran bahwa kedudukan manusia itu adalah sama, dan ketika munculnya sosok "Dewi Sartika" yang membuktikan bahwa kaum perempuan mampu berkompetisi dan bukan makhluk yang hanya sebagai objek.
HMI sebagai organisasi perkaderan yang telah hidup selama 61 tahun, telah mencetak kader-kader yang berhasil mengisi kekosongan Indonesia, mencetak kader dengan semangat bahwa dialah kader-kader HMI yang tetap membawa misi-misi ke-HMI-an dan tidak akan melupakan peran HMI dalam membentuk kepribadian dan pengetahuannya, serta mencetak kader-kader terdahulu yang percaya bahwa HMI akan tetap menjadi titik pusat pengisi perkembangan dan kemajuan Indonesia dan HMI akan selalu hidup oleh para kader-kader penerusnya sampai saat ini. Sekarang adalah moment yang sangat tepat ketika Indonesia dihantam dengan krisis moral, etika, kebangsaan, dan tentunya krisis politik, dengan para kader-kader HMI berani menyuarakan suara dan pergerakannya untuk mengentaskan bangsa ini dari berbagai macam krisis, saatnya kader-kader HMI menyuarakan politik yang berbasis kejujuran dan berani menyuarakan kebenaran, meneriakkan bahwa bangsa ini adalah hukum keindonenesiaan yang harus diberlakukan, bukan hukum ataupun undang-undang pesanan mafia keuangan luar negeri, menyadarkan bahwa moral bangsa ini adalah moral keindonesiaan, bukan moral kebaratan atau yang lain.
Saatnya juga, diharapkan kader HMI sebagai kader yang mampu berinisiatif untuk mengakhiri krisis global yang terjadi saat ini, sehingga satu, dua ataupun tiga kader HMI yang mempunyai inisitif jalan keluar dari krisis dunia itu berhasil membawa nama Indonesia dan mendeklarasikan bahwa bangsa Indonesia ternyata mampu sebagai bangsa garda depan dalam menyelesaikan permasalahan dunia dengan pengetahuan keislaman, kemampuan ekonomi sosialnya dan kegigihannya dalam berjuang mewujudkan Indonesia yang berkeadaban demi memuliakan martabat bangsa sesuai dengan kodratnya.

Deskripsi Kegiatan
Latihan Kader I (LK I) Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Institut PTIQ-IIQ bersama dengan Komisariat Alternatif dan Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Cabang Jakarta Selatan.
Tema LK1 kali ini ialah "Reaktualisasi Makna Organisasi Perkaderan; HMI Menjunjung Martabat Bangsa Dimata Dunia"
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada hari Jum’at-Minggu, 14-16 November 2008/15-17 Dzuqaidah 1429 H bertempat di Villa (Pondok Training) al-Hasanah, Cipayung-Puncak-Bogor.
Peserta difokuskan terhadap perguruan-perguruan tinggi yang ada di lingkup HMI Cabang Jakarta Selatan yang diantaranya :
s Institut PTIQ dan IIQ Jakarta
s UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
s Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
s Institut Studi Islam Darul Qalam (INSIDA)
Serta delegasi-delegasi kampus-kampus lain dilingkungan HMI Cabang Jakarta Selatan setelah dialakukannya audiensi.

Kontak Kami
Insan Kamil 081389924925 / 085691719368
Zakki 081318301015

Download Proposal Kegiatan LK1 ini:
http://rapidshare.com/files/160961610/Latihan_Kader_I_bersama.rtf.html


Selengkapnya...

Editorial: MENGAWAL UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI


EDITORIAL LAPMI
MENGAWAL UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI

Walau masih terdapat perbedaan pandangan dalam masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) dalam sidang paripurna tanggal 30 Oktober 2008 sepakat mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi menjadi Undang-undang. Dari keseluruhan Fraksi di DPR hanya dua Fraksi yang menyatakan menolak undang-undang tersebut dan menyatakan walk out dari ruang sidang paripurna ketika undang-undang disahkan oleh Ketua DPR, Agung Laksono. Sedangkan Fraksi lain walaupun menyatakan kesetujuannya namun memberikan catatan terutama dalam hal sosialisasi ke daerah-daerah yang masih menolak Undang-Undang ini.


Sejak awal bergulirnya Rancangan Undang-Undang ini, sudah terjadi pro dan kontra dalam menyikapi kehadiran Undang-undang ini. Bagi pihak yang mendukung, undang-undang ini dianggap penting untuk menjaga dekadensi moral dalam masyarakat serta melindungi anak-anak dan perempuan. Sementara, pihak-pihak yang menolak menganggap kehadiran undang-undang ini akan memicu konflik dalam masyarakat, meniscayakan keberadaan budaya-budaya lokal yang berkembang dalam masyarakat adat dan akan menghilangkan kreatifitas seni dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Setelah Undang-undang ini disahkan oleh DPR, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana peran masyarakat dalam mengawal implementasi Undang-undang ini? Serta siapa yang bertanggung jawab dalam melakukan kontrol terhadap undang-undang tersebut? Pertanyaan ini penting untuk dijawab terutama oleh kalangan pendukung undang-undang ini.
Bagi kalangan yang sejak awal menyatakan menolak kehadiran undang-undang pornografi, jalan satu-satunya yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan uji materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi, apakah Undang-undang ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Jika nantinya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan Undang-undang Pornografi tidak bertentangan dengan UUD 1945 maka dengan kebesaran hati harus menerima kehadiran undang-undang ini. Namun, jika nantinya ternyata Mahkamah konstitusi menyatakan Undang-Undang Pornografi bertentangan dengan UUD 1945 maka pemerintah dan DPR harus melakukan revisi terhadap Undang-undang pornografi.
Sementara itu, bagi kalangan yang sejak awal menjadi pendukung atas kehadiran Undang-undang Pornografi, dengan disahkannya Undang-Undang ini, dukungan yang sejak awal dilakukan harus terus dipertahankan dan tidak berhenti saat undang-undang pornografi disahkan oleh DPR. Justru setelah undang-undang ini disahkan, tugas selanjutnya adalah mengawasi penerapan undang-undang ini dalam masyarakat. Hal ini penting dilakukan mengingat penerapan undang-undang ini juga menyertakan masyarakat sebagai bagian penting dari penerapan undang-undang. Dengan adanya peran serta masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan undang-undang ini, kelompok pendukung harus terus mengawasi penerapan undang-undang ini. Tidak adanya kriteria kelompok masyarakat yang menjadi pengawas menjadi problematika tersendiri. Dimana semua kelompok dan golongan masyarakat bisa menjadi "polisi" dalam penerapan undang-undang ini. Yang menjadi permasalahannya adalah manakala satu kelompok dalam masyarakat menggunakan undang-undang ini sebagai dasar dalam menghakimi dan menjadi "polisi" bagi orang atau kelompok masyarakat yang dianggap melanggar undang-undang ini. Jika hal ini yang terjadi maka kehadiran undang-undang ini hanya akan menjadi "virus" yang akan menggerogoti kerukunan umat dan masyarakat. Pada tataran inilah tanggung jawab moral bagi kelompok pendukung dituntut.
Akhirnya, dukungan yang diberikanpun, tidak hanya pada tataran wacana, tapi juga aplikasi dilapangan setelah undang-undang ini disahkan. Mungkin sebahagian orang yang sejak awal mendukung undang-undang ini, merasa dukungannya telah berhasil dengan disahkannya undang-undang ini, dan sesudahnya tugas kepolisian dan pemerintah dalam mengawasi proses penerapannya. Hal ini sebuah kesalahan yang sangat besar, karena proses penerapan dimasyarakat akan lebih berat dari pada memperjuangkan RUU Pornografi menjadi UU Pornografi.
Tim Redaksi.

Selengkapnya...

Resensi: PURNAMA PUTRI YAKUZA


Resensi:
PURNAMA PUTRI YAKUZA
Oleh: Bahrul Haq Al-Amin


Judul : Yakuza Moon (Memoar Seorang Putri Gangster Jepang)
Penulis : Shoko Tendo
Editor : Windy Ariestanty
Cetakan : Cet. 1
Penerbit : Gagas Media
Tempat Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2008
Halaman : vi + 252 hlm


Menjadi bagian keluarga seorang yakuza tidak pernah menjadi mudah. Terlebih menjadi putrinya. Keluarga yakuza memang pada awalnya dapat menikmati berbagai kemudahan dalam hidup. Dengan figur flamboyan dan keangkuhan seorang yakuza, maka mereka bisa dengan mudah mendapatkan pinjaman. Mereka bisa mendapat milyaran yen tanpa perlu menunjukkan jaminan apapun sebagai agunan. Ini disebabkan fakta bahwa sang peminjam adalah seorang yakuza sudah menjamin keamanan. Akan tetapi, sebagai ganti agunan, pinjaman itu punya bunga yang tinggi. Tentu saja, dengan modal pinjaman itu, keluarga yakuza dapat menjalankan bisnis mereka. Namun, tetap saja pada akhirnya bisnis tidak bisa dijalankan bermodalkan pinjaman dengan bunga 10 persen tiap sepuluh hari, dan terus naik hingga mencapai 50 persen per sepuluh hari. Ketika kebangkrutan datang, sang yakuza yang terkenal flamboyan dan angkuh itu tiba-tiba meringkuk saja di rumahnya atau kabur. Dia akan meninggalkan sang istri yang harus menanggung rasa malu dan biaya kehidupan sehari-hari keluarganya. Ironisnya, sang istri malah menunjukkan bahwa ia lebih kuat dalam bertahan hidup melebihi suaminya yang angkuh. Meski begitu, masa depan keluarganya tidak bisa dipertahankan pula. Anak-anak segera akan menemui lingkungan yang menghancurkan dirinya. Inilah suasana keluarga yang dialami oleh Shoko Tendo.
Pada masa kecilnya, Shoko Tendo begitu yakin bahwa dunia yang dijalaninya teramat indah. Shoko hidup dikelilingi oleh keluarga besar yang mencintainya, dan juga tamu-tamu yang selalu datang berkunjung dan menghormati keluarganya. Ayah dan ibunya, Hiroyashu dan Satomi, begitu ia sayangi. Shoko adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak lelakinya, Daiki, hanya terpaut dua belas tahun lebih tua darinya, dan Maki, kakak perempuannya, dua tahun lebih tua darinya. Adik bungsunya, Natsuki – atau biasa dipanggil Na-Chan – lima tahun lebih muda darinya. Tempat tinggalnya di kota Sakai menjadi begitu indah pada mulanya.
Kehidupan Shoko-Chan mulai berbeda sejak ayahnya terlibat masalah dan dijebloskan ke penjara. Shoko yang baru saja masuk ke sekolah dasar terpaksa harus belajar menerima bahwa keluarganya selalu dipergunjingkan oleh para tetangganya. Di sekolah, Shoko selalu diolok-olok baik oleh para guru maupun teman-temannya. Akibatnya, di sekolah ia selalu menyendiri dan hanya berteman buku dan pensil. Meski begitu, ia tidak pernah menyesali apalagi mengutuk kenyataan dirinya yang merupakan putri seorang yakuza. Dia menjadi sangat sayang pada rumah, dan terlebih ibunya yang dicintainya.
Di masa ini, Shoko pertama kalinya mengalami pelecehan seksual. Shoko yang saat itu baru pulang sekolah dalam keadaan demam, tengah berbaring di kamarnya. Tiba-tiba, Mizuguchi – seorang yakuza muda di geng ayahnya – memasuki kamar dan menghampirinya. Sejak itu, ia tidak bisa mempercayai orang dewasa.
Ketika Shoko memasuki kelas empat, ayahnya keluar dari penjara. Tapi, tabiat ayahnya semakin bertambah buruk. Ayahnya selalu pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Di pagi harinya, dia tidak pernah sadar akan perbuatannya. Shoko dan keluarganya harus bersabar menghadapi hal itu. Akhirnya, enam tahun pendidikan Shoko yang melelahkan di sekolah dasar pun berakhir.
Tahun-tahun berikutnya di SMP berujung dengan pengalaman Shoko di dunia Yanki. Yanki adalah sebutan untuk anak liar yang mengecat putih rambutnya dan kebut-kebutan di jalan raya. Shoko mengikuti jejak kakaknya, Maki, dengan kabur dari rumah dan meninggalkan sekolah. Dia menjadi terbiasa mabuk dengan cara menghirup thinner. Shoko segera kehilangan keperawanannya dengan Yuya, seorang Yanki yang dua tahun lebih tua darinya. Shoko berpikir bahwa kehilangan keperawanan adalah semacam ritual menjadi "dewasa". Dia menjalani ritual tersebut dengan tanpa perasaan apapun dan sama sekali tidak memberi kesenangan apapun baginya. Shoko – seperti halnya Maki – mulai terjebak dengan kehidupan khas Yanki. Minggat dari rumah, ditemukan, diseret pulang, dan dipukuli ayah. Ia akan menunggu lukanya sembuh dan kemudian minggat lagi. Namun, setelah ditangkap beberapa kali oleh polisi, Shoko akhirnya dijebloskan ke penjara anak-anak. Lalu, ia dihukum dimasukkan ke sekolah anak nakal.
Setelah keluar dari sekolah anak nakal, Shoko tidak bermaksud untuk berubah sedikit pun. Ia kembali terjerumus dalam dunia Yanki. Sementara itu, kehidupan keluarganya tidak kunjung membaik. Rencana pernikahan kakaknya, Daiki, berantakan setelah kelaurga calon istrinya mengetahui latar belakang keluarga Daiki. Lebih buruk lagi, ayahnya menjadi penjamin pinjaman salah satu kenalannya. Dengan begitu, keluarganya terjerumus ke neraka utang. Bunga utang itu sampai mencapai lima puluh persen per sepuluh hari. Setiap hari hingga musim dingin seluruh perabotan di rumahnya hilang dibawa para penagih utang.
Dalam suasana buruk seperti itu, Shoko malah mulai mencoba narkoba. Dia menjalaninya masih dengan alasan agar dikatakan "dewasa". Hampir saja dia kembali menjadi korban pelecehan seksual akibat kecanduan narkoba. Sayangnya, hal buruk itu belum akan berakhir. Maejima – seorang rentenir yang telah banyak meminjami ayahnya uang – memanfaatkan urusan utang dengan ayahnya untuk menundukkan Shoko dalam lingkaran narkoba dan seks. Shoko terjebak dalam lingkaran setan narkoba dan seks. Segera ia menjadi budak seks Maejima.
Di tengah-tengah pengaruh Maejima yang teramat kuat dalam hidupnya itu, Shoko mencoba untuk bekerja di bar. Di sana ia berkenalan dengan Shin, seorang pelanggan yang kemudian menjadi kekasihnya. Namun, statusnya sebatas sebagai seorang simpanan atau gundik. Shoko mendapat hadiah ulang tahun sebuah apartemen dari Shin. Meski begitu Shoko tidak bisa lepas begitu saja dari Maejima. Kenyataan Shin yang jarang pulang ke apartemennya dimanfaatkan Maejima untuk terus berusaha menemui Shoko. Adapun Shoko tidak pernah bisa menolak Maejima, padahal hubungannya dengan Maejima tidak pernah baik. Selain menjadi budak seks dan narkoba, Shoko juga selalu diperlakukan tidak manusiawi. Dia mengalami kekerasan hampir setiap saat ia bertemu dengan Maejima. Terlebih saat itu Shoko sedang hidup bersama Shin. Shoko disiksa terus-menerus, dan pada saat yang bersamaan Maejima juga selalu mengulang kata-kata yang sama, "Aku cinta padamu."
Hubungannya dengan Maejima berakhir ketika Shoko ditinggalkan dalam keadaan sekarat akibat kecanduan narkoba oleh Maejima di hotel mesum yang biasa mereka tinggali. Kejadiannya saat itu mereka berdua telah dua hari berada di hotel mesum itu. Shoko ingin pulang ke rumahnya, sebab beberapa hari sebelumnya rumah keluarganya resmi disita oleh lembaga kepailitan. Keluarganya terlantar dan pindah ke rumah yang sangat kecil. hal ini sangat menyedihkan bagi Shoko. Niatnya untuk pulang itu tidak disukai oleh Maejima. Maejima memukul wajahnya, menendang rusuknya, menjambak rambutnya, kemudian menariknya ke lantai. Setelah itu, Maejima menusukkan amfetamin dosis tinggi ke lengan Shoko. Pada saat jarum suntik dicabut, wajah Shoko berkeringat dan tubuhnya terasa lengket. Dadanya seperti terpanggang, dan Shoko menekankan tangannya ke jantung untuk menenangkannya, tapi tak ada gunanya. Shoko pingsan dan tidak bisa bernafas. Melihat Shoko yang menderita seperti itu, Maejima malah kabur. Dua hari kemudian Shoko sekarat di apartemennya merindukan jarum suntik narkoba. Dia mengalami halusinasi terus-menerus. Akhirnya setelah tiga hari halusinasi itu berakhir, dan nafsu makannya kembali. Saat itulah Shoko memutuskan untuk membebaskan diri dari narkoba selamanya. Adapun Maejima, kurang dari sebulan setelah meninggalkan Shoko di hotel mesum, dia meninggal dunia akibat pendarahan paru-paru.
Setelah terbebas dari narkoba, Shoko melanjutkan bekerja. Beruntung dia mendapatkan pekerjaan sebagai hostes di mana saat itu situasi ekonomi di Jepang cukup baik. Saat itu tahun 1987 adalah puncak buble era yaitu masa melambungnya perekonomian Jepang dan uang mengalir dengan lancar. Karenanya, para pelanggan Shoko sangat royal dalam mengeluarkan uang mereka. Malangnya, justru perusahaan Shin malah mengalami kebangkrutan sehingga dia tidak bisa lagi mengirimi Shoko uang. Namun, Shoko tetap mencintainya meski Shin sedang bangkrut.
Sementara itu, Orang tuanya dan Na-Chan pindah ke kontrakan kecil, dan kakak laki-lakinya pindah ke apartemen di dekat kontrakan tersebut. Penghasilan orang tuanya amat kecil. Ayahnya bekerja sebagai buruh kasar, sedangkan ibunya menjadi pegawai kebersihan di hotel mesum.
Berikutnya, Shoko sempat berkenalan dengan Kuramochi – pelanggannya – namun Shoko tidak berminat untuk memiliki ikatan dengannya sebab masih terikat pada Shin. Kemudian, sekali lagi Shoko berkenalan dengan seorang lelaki yang mengaku masih bujangan, bernama Ito. Malangnya, ternyata Ito berbohong padanya. Ito telah beristri. Namun, Shoko terlalu mudah memaafkan, sehingga sekali lagi dia menjalani peran sebagai simpanan. Suatu ketika, Shoko mengalami kejadian buruk lagi dengan Ito. Shoko mengalami kekerasan oleh Ito, dan kekerasan itu semakin menjadi-jadi. Seperti halnya Maejima di masa lalunya, Ito pun selalu mengatakan bahwa dia mencintai dan meminta maaf pada Shoko setiap ia selesai menyiksanya. Tentu saja Shoko tidak mudah percaya lagi. Shoko sampai harus masuk rumah sakit akibat kekerasan Ito.
Sejak itu, Shoko memutuskan untuk merubah jalan hidupnya. Perubahan itu bermula dengan keputusan untuk mentato tubuhnya. Tato itu benar-benar meyakinkan Shoko untuk tidak lagi menerima begitu saja perlakuan kasar dari laki-laki yang mencintainya. Sejak ia ditato, sikap dia terhadap pekerjaan pun berubah. Ia tidak lagi bekerja tanpa tujuan. Ia menjadi bergairah dalam bekerja dan lebih serius dalam menjalaninya.
Kemudian, Shoko bertemu dengan Takamitsu, seorang yakuza yang berusia empat tahun lebih tua darinya. Pertemuan dengan Taka ini berlanjut dengan keputusan Shoko untuk menikah dengannya. Perkenalan Taka dengan keluarganya sangat lancar, dan Taka diterima dengan baik oleh keluarga Shoko. Suatu ketika, Ito – mantan kekasihnya – tiba-tiba menyerang ke rumah Shoko saat Taka tidak di rumah. Ito menyakiti Shoko habis-habisan dan memperkosanya hingga ia harus dibawa ke rumah sakit. Taka yang mengetahui kejadian ini mengejar Ito dan menghabisinya. Keputusan itu ia ambil dengan mengorbankan pula statusnya sebagai yakuza. Esok harinya, Taka memutuskan untuk menikahi Shoko di kantor catatan sipil. Rumah tangga Shoko dengan Taka dimulai dalam keadaan miskin papa.
Tahun-tahun berikutnya, orang tua Shoko meninggal dunia. Namun efek atas kematian keduanya agak berbeda-beda. Saat kematian ibunya, Shoko sangat terpukul. Sedangkan pada saat kematian ayahnya, Shoko merasa terpacu untuk menata hidupnya supaya lebih baik lagi. Shoko juga harus menanggung hidup berat karena harus menanggung utang Maki, akibat kebiasaan judi mantan suaminya Itchan. Shoko juga terpaksa harus bercerai dengan Taka. Hal itu ia lakukan demi kebahagiaan Taka karena mereka berdua tidak pernah lagi berhubungan intim sejak ibunya meninggal dunia. Ketika umur Shoko menginjak tiga puluh dua tahun, Na-Chan memutuskan untuk menikah dengan sorang pria baik-baik. Karirnya sebagai hostes pada saat itu sedang memuncak.
Demikianlah, memoar seorang putri yakuza. Kisah ini hanyalah satu potret kecil dari kehidupan kelam keluarga yakuza di Jepang. Otobiografi Shoko Tendo mengungkapkan dengan jelas bahwa dunia yakuza tidak bisa dipahami dengan sederhana. Kesalahan dalam menilai kehidupan keluarga yakuza hanya akan menyeret pada sikap merendahkan dan mengucilkan kehidupan yakuza. Demikian juga ketika mencoba memahami kehidupan seorang remaja putri yang terjebak dalam dunia Yanki, narkoba dan seks. Kenyataannya, Shoko sendiri tidak bisa dikatakan menikmati kehidupan itu dengan benar. Banyak kesalahan persepsi yang fatal dalam memahami dunianya. Makna "dewasa" menjadi bergeser ke arah yang salah. Persoalan narkoba menjadi sangat akut dan menyebabkan para remaja menjalani hidup yang semakin suram. Ketika terjebak dalam perbudakan seks dan narkoba pun, lagi-lagi seorang remaja putri lebih tepat disebut sebagai korban. Karenanya, menyalahkan korban menjadi kurang tepat. Shoko tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk menepis semua penyiksaan tersebut. Secara fisik mereka lemah di hadapan kaum laki-laki. Proses terbebasnya mereka dari semua jebakan itu tidak terjadi dengan mudah. Dibutuhkan keberuntungan yang cukup besar untuk menarik keluar mereka dari dunia hitam itu.
Tetapi, melampaui semua kepedihan itu, satu pelajaran penting yang bisa diambil ialah bahwa kaum perempuan jauh lebih tabah dalam menghadapi kenyataan hidup. Mereka mampu bertahan hidup di saat terburuk, sekaligus mampu menata kembali hidup mereka ketika mereka siap. Sungguh sebuah gambaran yang otentik.
Memoar yang ditulis sejak tahun 2002 ini begitu sarat emosi dan menyayat hati. Secara khusus, Shoko Tendo menyampaikan permintaan maaf jika dalam novel pertamanya itu terdapat kata-kata yang kurang pantas. Karya ini sangat penting dalam memahami masyarakat dan budaya Jepang. Shoko yang saat ini memutuskan untuk menjadi penulis tetap berharap purnama benar-benar bersedia menampakkan diri untuknya.



Download artikel ini:

http://rapidshare.com/files/160940237/ResensiPutriYakuza.rtf.html




Selengkapnya...

MENCONTOH AHMADINEJAD


MENCONTOH AHMADINEJAD
Oleh: M. Insan Kamil*

Keterpurukan bangsa pada saat ini adalah karena tidak adanya publik figur yang diakui oleh semua pihak. Alih-alih setelah menjadi penguasa mereka merangkul rakyat yang dibawah, malah sebaliknya, egoisitas seorang pemimpin (sebenarnya bukan seorang pemimpin) timbul setelah kantongnya jebol setelah pemilu. Akibatnya pun akan semakin fatal, yakni hendak mengembalikan harta bendanya ketika dia menjadi penguasa.


Hal ini terbukti pada pemilu sebelumnya, konon harta kekayaan bagi inkamben makin bertambah setelah dilakukan pemeriksaan keuangan. bagaiman nasib rakyat yang terbuai janji-janjinya bisa bertahan hidup di bawah kemelaratan para hipokritas konglomerat! atau yang paling menyedihkan lagi adalah ketika lawan dari politik dia menang dalam pemilu, si lawan yang kalah dalam kontestasi politik akan membuat ulah di tingkat bawah, memonopoli pasar, mengacaukan perekonomian di sektor riil.

Inilah budaya demokrasi negara kita. Demokrasi yang dianggap democrazy ini ternyata banyak didambakan oleh mereka yang menjadi calon-calon akan tampil di pemilu 2009 nanti. Apakah mereka tidak malu, usia sudah berumur, respon masyarakat sudah lemah, mereka masih mau menjadi pemimpin negeri yang konon subur tanahnya. Sehingga bukan hanya pohon singkong dapat ditanam dinegeri ini, uang pun (Investor) dapat menjadi kekayaan yang berlipat ganda setelah dipupuk oleh keringat anak-anak bangsa.

Lalu apa yang didambakan oleh para penguasa yang ingin merebut kembali kekuasaan yang telah didapatkannya? apakah ingin menjadi petani yang handal dalam memanen keuntungan negara? negara ini tidak lebih seperti kandang babi, lingkungan yang kotor sehingga dipenuhi oleh para tikus-tikus yang ikut berpartisipasi menghabiskan sisa-sisa kotoran rumah pemilik kandang, perilaku-perilaku yang tak kenal moral dan etika. Yang semuanya itu pantaslah dianalogikan terhadap negeri ini.

Kenapa kita tidak mencontoh Iran? kenapa Revolusi tidak dikumandangkan di Negara ini? "kalo hanya sebatas reformasi she cuma dicukur kepalenye doang , yang bawahnye gimane bang?" itulah yang sering dipertanyakan orang kenapa di era reformasi ini masih saja terjadi krisis ekonomi, padahal 10 tahun yang lalu pemimpin-pemimpin sudah diganti. Kenapa masih saja ada slash antar suku dan perbedaan? padahal dari segi kultural, Indonesia ini adalah negara Plural dengan etnis dan budaya. Kenapa masih saja terjadi tindak kriminal dengan rekor tertinggi di Asia? padahal banyak instansi-instansi didirikan untuk perlindungan masyarakat. Kenapa masih saja ada pemimpin yang bermisikan ingin merubah bangsa? padahal untuk mengurus rumah tangga saja masih carut-marut, apalagi masyarakat ingin memilih dia sebagai pemimpin!!?

aayi_651: "tandang ke gelanggang walau hanya seorang..."

Jadilah pejuang, jangan jadi seorang pecundang


* Ketua Umum HMI MPO Cabang Jakarta Selatan 2008-2009

Download artikel ini:
http://rapidshare.com/files/160939378/mencontoh_ahmadinejad.rtf.html


Selengkapnya...

Rabu, 05 November 2008

TRANSFORMASI PERAN POLITIK ULAMA DI INDONESIA

TRANSFORMASI PERAN POLITIK ULAMA DI INDONESIA

Oleh : Sunardi Panjaitan


Beberapa waktu yang lalu, partai Kebangkitan Bangsa (PKB) versi Muhaimin Iskandar yang merupakan partai politik peserta pemilu 2009 melakukan silatuhrahmi dengan ratusan ulama kampung. Tidak hanya PKB, ratusan caleg pada pemilu 2009 juga ramai-ramai melakukan silatuhrahmi dengan ulama-ulama di daerah terutama dengan datang ke beberapa pesantren. Dan hal ini sudah menjadi tradisi menjelang pemilihan umum. Mengapa hal ini terus terjadi?



Menjelang pemilihan umum 2009 yang akan datang, politik kaum santri kembali menguat. Hal ini mengingat posisi umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini. Dengan jumlah yang cukup signifikan dalam pemilu, wajar jika semua partai politik peserta pemilu dan politisi berlomba-lomba untuk mendapatkan suara dari pemilih Islam.

Belajar dari Imam Khomeini

Revolusi Islam Iran yang merupakan sebuah revolusi politik yang terjadi untuk pertama kalinya di negara Islam adalah hasil dari perjuangan para ulama bersama dengan masyarakat di negara tersebut.

Revolusi yang terjadi mampu merubah sistem politik dan sistem negara dari sistem Monarki yang sudah bertahan lebih dari 2500 tahun, menjadi negara republik demokratis tersebut, tidak bisa dilepaskan dari peran penting seorang ulama yaitu Ayatullah Khomeini sebagai peminpin ulama.

Sebagai seorang ulama, yang dilakukan oleh Khomeini tidak hanya memberikan “siraman rohani” kepada masyarakat luas. Selain memberikan ceramah agama, Khomeini juga mampu mengkonsolidasikan kekuatan yang ada dalam masyarakat untuk memberikan perlawanan terhadap rezim yang otoriter dan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya.

Tidak hanya mengajak masyarakat untuk melawan sistem, Khomeini juga mempunyai konsep kenegaraan yang kemudian diterapkan pasca kejatuhan rezim otoriter Monarki. Dengan konsep kenegaraan tersebut, Khomeini mempunyai dasar dan modal dalam mengkonsolidasikan kekuatan masyarakat Iran.

Konsep yang ditawarkannya adalah Wilayatul Faqih. Dalam Wilayatul Faqih otoritas kepemimpinan tertinggi dipegang oleh seorang yang mengerti hukum-hukum Islam. Konsep ini di susun oleh Khomeini selama dia berada di kota Nejf.

Dalam konsep wilayatul Faqih, seorang ulama yang diangkat menjadi wali Faqih merupakan otoritas tertinggi dalam konstitusi negara. Produk undang-undang yang sudah dibahas oleh parlemen akan disaring oleh dewan faqih -yang juga dipilih oleh rakyat- apakah sesuai dengan syariat Islam. Bahkan seorang calon kepala negarapun, harus mendapat persetujuan dari wali faqih jika hendak maju dalam pemilihan presiden Iran.

Dalam konsep ini, ulama memegang peranan yang sangat penting dalam sistem politik dan kenegaraan. Bahkan dalam menentukan kebijakan negara. Alhasil, saat ini Iran merupakan salah satu negara di kawasan Timur-Tengah yang mampu mengimbangi kedigdayaan Israel dan Amerika Serikat.

Namun demikian, untuk menjadi seorang ulama di Iran, tidaklah mudah. Seorang calon ulama harus melewati beberapa tahapan yang sudah diterapkan. Untuk menjadi seorang ulama di Iran, harus lulus sekolah ulama –seperti halnya sekolah kepastoran- dalam agama Kristen, serta mendapat sertifikat ulama. Jadi, tidak semua orang yang ahli dalam bidang agama bisa dikatakan telah menjadi ulama. Tidak hanya mengerti hukum-hukum dan syariat Islam, seorang ulama juga harus mengerti tentang sistem politik dan kenegaraan.

Ulama di Indonesia?

Lalu, bagaimanakah peran ulama dalam sistem politik di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus melihat realitas dalam posisi ulama dan struktur masyarakat dan politik di Indonesia.

Di Indonesia, untuk bisa menjadi ulama tidak harus mendapatkan sertifikat keulamaan seperti halnya di Iran. Seorang yang sudah mempunyai ilmu yang tinggi tentang agama Islam dan hukum-hukumnya di Indonesia bisa disebut seorang ulama. Apalagi jika sudah mengasuh pondok pesantren.

Dalam struktur masyarakat Indonesia, terutama golongan santri yang cukup mayoritas, ulama masih sangat besar perannya dalam menetukan pilihan para pemilih. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama setempat terutama ulama yang berpengaruh akan mampu merubah pilihan masyarakat disekitarnya. Ulama masih menjadi referensi dalam menentukan pilihan politik sebhagian masyarakat Indonesia.

Oleh sebab itu, menjelang pemilihan umum kita akan menyaksikan aksi-aksi politik dari partai politik dan politisi yang melakukan silaturahmi dengan ulama dan masyarakat setempat. Jika sudah mendapatkan restu dari ulama maka jalan untuk medapatkan kursi akan semakin mudah.

Apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Iran. Para politisi ingin mendapatkan restu dari ulama. Namun yang membedakan adalah, jika di Iran, restu diberikan oleh sebauh lembaga ulama yang merupakan lembaga tertinggi dalam konstitusi negara. Jika tidak mendapatkan restu dari ulama, maka politisi tidak bisa maju pada tahap selanjutnya. Artinya ini adalah sebuah keharusan.

Sementara itu, di Indonesia, ulama hanya menjadi alat politik untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan dari masyarakat. Hal ini karena posisi ulama hanya sekedar sebagai pemberi restu semata.

Oleh karena itu, ulama Indonesia harusnya bisa melakukan transformasi kearah yang lebih besar. Apa yang dilakukan oleh Imam Khomeini bisa menjadi contoh bagi ulama di Indonesia. Bahwa seorang ulama tidak hanya melakukan siraman rohani akan tetapi juga memberikan penyadaran politik kepada masyarakat. Tidak hanya menyuruh masyarakat untuk bersabar ketika pemerintah tidak memenuhi kebutuhan rakyatnya, akan tetapi memberikan penyadaran akan hak-hak masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Dalam tataran inilah, seorang ulama dituntut tidak hanya paham tentang agama dan hukum-hukumnya, akan tetapi juga mengerti tentang sistem politik dan kenegaraan. Sehingga ketika ada ketidakadilan yang di alami oleh masyarakat, justru ulama harus tampil untuk melakukan tuntutan kepada pemerintah.

Mungkin ulama di Indonesia mencontoh apa yang dilakukan oleh biksu di Thailand yang menuntut turunnya rezim berkuasa. Atau biksu di Tibet yang justru menjadi pioner dalam menuntut ketidakadilan yang dialami masyarakat Tibet dari pemerintahan China. Sehingga pada pemilihan umum 2009 yang akan datang, ulama tidak hanya dianggap sebagai alat politik oleh para partai politik atau politisi, tidak hanya tempat meminta restu, akan tetapi harus menjadi pemain politik itu sendiri.

Sunardi Panjaitan : Direktur Penerbitan LAPMI. http//falasifah.multiply.com

Download artikel ini:

http://rapidshare.com/files/160938548/transformasi_politik_ulama.rtf.html




Selengkapnya...

Mempertegas Identitas HMI MPO


Mempertegas Identitas HMI-MPO
Oleh: Sunardi Panjaitan


Persoalan identitas organisasi menjadi sebuah keniscayaan yang mutlak dimiliki oleh sebuah organisasi. Tanpa adanya identitas yang jelas akan sulit sebuah organisasi memperkenalkan dirinya kepada dunia luar. Sehingga identitas organisasi sangat penting di miliki oleh setiap organisasi.




Identitas bisa berupa radikalisasi dan militansi gerakan dalam artian sebuah organisasi dikenal karena seringnya melakukan perlawan terhadap rezim pemerintah. Bisa jadi karena dengan tingkat intelektualitas yang tinggi misalnya organisasi dikenal karena mempunyai tradisi intelektual dengan dibuktikan oleh banyaknya anggota yang mampu mnghasilkan karya ilmiah. Atau dengan mempertegas simbol religius keagamaan sebuah identitas organisasi.

Dalam kontek HMI-MPO (penulis menggunakan kata MPO untuk membedakan dengan HMI-Dipo), persoalan identitas menjadi sangat penting karena bagaimanapun dalam konteks organisasi perkaderan yang menjadikan perkaderan sebagai tugas utamanya maka diharuskan untuk merumuskan identitas yang jelas dari organisasi ini. Tulisan ini akan mencoba menggugat realitas HMI-MPO saat ini yang seakan-akan kehilangan identitasnya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan.

Identitas Lama HMI-MPO

HMI-MPO adalah faksi dari HMI yang lahir karena menolak kebijakan pemerintah yang menerapkan pancasila sebagai azas organisasi menggantikan azas Islam yang sudah menjadi azas organisasi sejak awal berdirinya. Sebagai organisasi yang lahir dari sebuah perlawanan terhadap rezim penguasa orde baru maka identitas yang melekat pada HMI-MPO dan yang membedakan dengan HMI-Dipo adalah terletak pada azasnya.

Pada awal keberadaannya, HMI-MPO tidak hanya sekedar menjadikan Islam sebagai Azasnya, tapi juga implementasi nilai-nilai ke-Islam-an yang sangat kental pada kader-kader HMI pada awalnya. Sehingga gerakan HMI-MPO cenderung fundamentalis dan eksklusif. Selain itu, sikap radikal dan militansi kader menjadi sebuah pembeda dengan kalangan organisatoris lainnya.

Identitas lain yang terlihat dari HMI-MPO adalah tingkat intelektualitas yang dimiliki para kader-kadernya yang memperlihatkan bahwa budaya diskusi dan membaca sangat mendominasi kader-kadernya. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya wacana yang digulirkan oleh aktivis-aktivis HMI-MPO, seperti revulosi sistemik dan gerakan tamaddun. Akan tetapi karena tidak mempunyai akses dalam pemerintahan, maka wacana yang dimunculkan hanya sekedar wacana yang tiada pernah terealisasi. Wacana-wacana yang dimunculkan aktivis-aktivis HMI-MPO merupakan hasil dari kajian-kajian yang dilakukan kader-kadernya.

Berbagai identitas organisasi yang dimiliki oleh HMI-MPO membuat organisasi ini dikenal oleh dunia luar walaupun selalu dalam tekanan rezim orde baru. Sehingga tidak mengherankan walau dalam kondisi tidak didukung oleh penguasa, HMI-MPO justru berkembang pesat sampai saat ini. Pada kongres ke-26 lalu di Jakarta Selatan tercatat sekitar 50 cabang yang tersebar diseluruh Indonesia.

Merumuskan Identitas Baru HMI-MPO

Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan identitas menjadi persoalan utama di tubuh organisasi ini. Hal ini disebabkan beberapa hal. Pertama, runtuhnya rezim orde baru dan berganti ke era reformasi saat ini, persoalan azas tunggal pancasila tidak lagi menjadi relevan karena dengan dicabutnya undang-undang yang mengatur tentang azas tunggal. Disamping itu HMI-Dipo pun telah begitu cepat merubah azasnya menjadi azas Islam, sehingga persoalan azas tidak lagi menjadi pembeda antara kedua oraganisasi. Karena kedua organisasi telah menggunakan Islam sebagai azas organisasinya.

Kedua, pada perkembangan selanjutnya, HMI-MPO yang terlihat sangat fundamentalis dan eksklusif dan konsisten dengan nilai-nilai ke-Islama-nya, sedikit mengalami pergeseran. HMI-MPO bahkan dinilai sebagai organisasi Islam yang modernis. Pada awalnya semua aktivis HMI-MPO diukur dengan parameter ke-Islam-annya, saat ini HMI-MPO lebih cenderung terbuka dan menyerahkan persoalan teologis terhadap pluralitas kader-kadernya. Pluralitas ini menyebabkan ekpresi keagamaan masing kader-kader HMI-MPO berbeda-beda. Sehingga tidak mengherankan jika ada kader yang sangat kental nilai-nilai religiusnya, tidak sedikit pula kader yang lebih moderat dan bahkan “liar” dan semaunya sendiri tergantung cabang dan daerahnya. Akibatnya identitas ke-Islam-an HMI-MPO lenyap digantikan oleh gerakan lain.

Identitas keagamaan saat ini lebih melekat pada KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang sangat konsisten menjadikan nilai-nilai ke-Islam-an pada setiap kadernya. Tidak mengherankan jika dalam waktu relatif cepat KAMMI maju pesat dalam menjalankan perkaderannya. Bahkan dalam konteks dunia gerakan mahasiswa KAMMI lebih dikenal dengan HMI-MPO.

Ketiga, perkembangan dunia gerakan mahasiswa telah kehilangan daya kritisnya. Hal ini disebabkan membaca dan diskusi tidak lagi menjadi budaya di kalangan mahasiswa. Mahasiswa menjelma menjadi manusia yang apatis-pragmatis-oportunistis, sehingga yang ada dalam benak pikirannya hanyalah cepat lulus dan kerja walaupun tidak mempunyai ilmu sama sekali. Tidak ada lagi wacana-wacana baru yang digulirkan untuk menyelesaikan persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan dan tidak ada lagi karya-karya ilmiah yang dihasilkan oleh kalangan aktivis mahasiswa. Hal ini juga berimbas pada HMI-MPO karena mahasiswa yang menjadi objek perkaderannya juga telah mengalami hal yang sama dengan mahasiswa umumnya.

Dari ketiga hal diatas, dapatlah dikatakan bahwa identitas HMI-MPO yang sejak awal telah melekat sebagai cirri organisasi saat ini sudah hilang. Hal ini tentu menjadi persoalan serius untuk segera dicarikan solusinya yang jika tidak segera dilakukan maka HMI-MPO hanya akan menjadi sejarah dalam pergerakan mahasiswa Indonesia.

Ditengah kondisi mahasiswa yang sangat apatis-pragmatis-oportunistis saat ini dan persaingan merebut kader sebanyak-banyak diantara organisasi sebagai bukti eksistensinya, dibutuhkan rumusan baru dalam hal identitas organisasi.

Dalam pandangan penulis, HMI-MPO harus kembali ke-khittah gerakannya. Paling tidak ada dua opsi yang dapat dilakukan. Pertama, mengembalikan identitas awal HMI-MPO yakni mempertegas kembali nilai-nilai religius ke-Islam-an yang sejak awal menjadi dasar pijakan dalam menjalankan segala aktivitas organisasi. Dengan kondisi pluralisme pemahaman keagamaan yang ada saat ini sulit bagi HMI-MPO untuk memperlihatkan model keber-Islam-an HMI-MPO secara keseluruhan. Yang terlihat kepermukaan justru sifat keabu-abuan dalam memahami Islam. Selain itu, mengembalikan tradisi intelektual HMI-MPO dan meningkatkan militansi kadernya. Juga mutlak dimiliki. Jika ketiga hal ini dimiliki oleh HMI-MPO saat ini dalam pandangan penulis tidak sulit bagi HMI-MPO untuk mengembangkan dirinya. Disaat trend lebih cenderung menginginkan religiusitas maka HMI-MPO memperlihatkan diri sebagai organisasi yang religius atau bahkan ketika yang dilihat itu adalah dari segi intelektual dan militansi gerakan maka hal itu yang ditonjolkan kepermukaan. Dalam artian HMI-MPO mampu menyesuaikan diri dengan keinginan pasar yang ada tanpa harus melepaskan identitas dirinya.

Opsi lainnya yang bias diambil adalah mencoba merumuskan identitas baru yang sama sekali berbeda dengan identitas HMI-MPO pada awalnya. Perumusan diperlukan ketika pasar (mahasiswa dan masyarakat) tidak lagi memerlukan tiga identitas yang disebutkan diatas. Mungkin bisa dilakukan dengan mendukung ide pluralisme dan liberalisme seperti dikenalnya Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan wacana pluralismenya atau Koalisi Anti Utang (KAU) dengan identitas penolakan utang. Tergantung apa yang diingikan oleh masyarakat HMI-MPO secara keseluruhan.

Sampai pada tataran ini, penulis berpandangan bahwa dengan identitas yang jelas maka sebuah komunitas atau organisasi akan dengan cepat berkembang dan diketahui keberadaan. Semoga kedepan, HMI-MPO mempunyai identitas yang bisa membuat organisasi ini lebih berkembang. Semua itu bisa terjadi jika masyarakat HMI-MPO baik pengurus (mulai dari Pengurus Besar hingga Komisariat), kader dan segenap alumninya menyadari akan hal ini. Semoga tulisan ini menjadi bahan diskusi awal bagi kita semua untuk menemukan dan merumuskan identitas yang jelas bagi HMI-MPO. Semoga….

*Sunardi Panjaitan : Mantan Ketua HMI Cabang Jakarta Selatan dan Direktur Penerbitan LAPMI Jaksel.

Download artikel ini:

http://rapidshare.com/files/160937775/mempertegas_identitas_HMI_MPO.rtf.html




Selengkapnya...

Follow Up LK 1

Artikel Terpopuler

Widget edited by Anang

Tentang LAPMI Jaksel

Foto saya
Ciputat, Jakarta Selatan/Tangerang Selatan, Indonesia
Blog ini dikelola oleh LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan sejak 30 Oktober 2008. LAPMI adalah singkatan dari Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Blog ini diharapkan menjadi media di dunia maya untuk mempublikasikan karya-karya LAPMI HMI MPO Jaksel. Direktur Utama: Daimah Fatmawati Direktur Litbang: Bahrul Haq Al-Amin Direktur Penerbitan: Sunardi Panjaitan. Selamat menyimak!

Personel LAPMI Jaksel

  • Daimah Fatmawati as Direktur Utama
  • Sunardi Panjaitan as Direktur Penerbitan
  • Bahrul Haq Al-Amin as Direktur Litbang
  • Iffati Zamimah as Sekretaris LAPMI

Notifikasi Email

Masukkan alamat email Anda untuk mendapatkan pemberitahuan jika ada artikel/berita terbaru!

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang