Selamat Datang di Jurnal INTUISI, Blog resmi LAPMI Jaksel

Selamat Datang di Jurnal INTUISI, Blog resmi LAPMI Jaksel.

Terima kasih atas kunjungan Anda sekalian. Jurnal INTUISI, sebagai blog resmi LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan, berusaha menyuguhkan update informasi maupun kajian yang berlangsung di seputar lingkungan HMI MPO Cabang Jakarta Selatan. Kami berharap, para pengunjung sekalian dapat menikmati suguhan ini dan meninggalkan catatan-catatan kecil demi perbaikan ide-ide kami di masa yang akan datang. Sebab, Jurnal INTUISI hadir untuk menangkap pengetahuan secara keseluruhan!

Tim LAPMI Jaksel

Ada Apa di Jurnal INTUISI?

  • Update Jurnal INTUISI Versi Cetak
  • Editorial Aktual
  • Update Info HMI JakSel
  • Opini Beragam
  • Kajian Mendalam
  • Fitur Tambahan Seru
  • Partisipasi Terbuka

Kamis, 04 Juni 2009

Bubarkan HMI MPO, Rekonsiliasi, atau Berubah Nama?

Isu perubahan nama sudah tidak asing lagi ketika kongres tahun 1991 sampai 2007 kemarin di Depok. perasan keringat teman2 yang sudah merempugkan isu ini dinilai sia2 oleh mereka yang kontra terhadap Perubahan nama HMI (MPO) itu. egosentris dan primordial kedaerahan seakan menjelma bak komplotan hyna yang menyerbu kawanaan banteng, yang tak ubahnya seperti roda perputaran yang melelahkan jari-jari velg pada roda perjuangan HMI (MPO).

HMI (MPO) mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan organ lain, yaitu selalu "betah" dengan kondisi yang menyengsarakan dirinya. jika dilihat dari estafeta perjuangan HMI (MPO) sudah saatnya mendapatkan pengakuan secara riil, de facto yang bisa dijadikan acuan untuk pergerakan yang lebih mantap. karena HMI (MPO) ini mengacu kepada HMI 1947, maka perjalanannya pun sudah bisa dianggap aman, bahkan menyelamatkan penumpangnya.

Nama HMI (saja) cukup sering didengungkan ketika berhadapan dengan alumni HMI sebelum pecah, dan atau alumni yang mengalami dua masa perpecahan ini (al 'ashr al mukhadhramy), diakui atau tidak penyodor proposal akan menggunakan nama HMI sebagai alat untuk melobi, dan menghasilkan uang. di sisi lain, nama HMI MPO akan muncul ketika ada demonstrasi besar atau ikut adil dalam perang wacana publik. padahal kita sebagai kader HMI seharusnya menilai perbuatan itu, setidak2nya sebagai tindakan hipokrit terhadap organisasi sendiri.

Di lain hal, Nama HMI ini cukup berpengaruh dalam penjaringan kader2 baru di ranah mahasiswa yang kali pertama menginjakkan kakinya di dunia akademik. dengan segala upaya, nama oraganisasi yang banyak disegani itu pun secara spontanitas muncul tanpa embel2 MPO, sehingga menarik kader2 baru yang lebih banyak dengan pengaruh nama besar HMI. Penipuan ini dinilai tidak mendidik calon kader yang nantinya akan menjadi elan pital bagi HMI MPO ke depan, terlihat dari kejumudan ekspresi kader2 dua periode sebelumnya sampai hari ini, bahwa etos dan minat pergerakan mahasiswa islam cenderung menempati angka nol. jika diperhatikan, penipuan seperti tadi (lah) menjadi komoditi utama penjualan "paguyuban" ini.

Nama bukan segala2nya, akan tetapi nilai yang terkandung di dalamnya sangat menentukan arah perjuangan MPO ini menjadi organisasi yang inklusif, equal, demokratik, serta profan di segala lini. Coba kita ambil komparatif antara PDI dengan PDI-P. kenapa PDI-P lebih booming daripada PDI, karena PDI-P mengambil tindakan cepat dan efisiensi waktu dan tenaga, serta penilaian akurat dan berani. sementara HMI ketika pecah, karakter untuk merubah diri dengan wajah yang lain itu tidak digalakkan, malah membesarkan diri sendiri di lingkungan sendiri...(cape dech...). selain itu juga, coba kita bandingkan antar PKB kubu Muhaimin dengan Gusdur, apakah Mahkamah Konstitusi memihak kepada kubu Gusdur? (pasti ada pertanyaan) mengapa demikian? anda sendiri yang bisa menyimpulkan...

Masalah perbedaan Organisasi dengan partai, itu kita sampingkan terlebih dahulu. karena itu lain perdebatannya, kita melihat dari sisi strategi dan demi kemaslahatan Organisasi sendiri. Jika HMI dulu pecah hanya karena ketidamufakatan terhadap suatu wacana nasional dalam kongres, serta diliputi oleh dendam pribadi terhadap yang pro pemerintah, maka terlahirlah HMI (MPO) itu akan terus seperti ini, sama ketika dia dilahirkan.

Hal ini tidak dapat dihentikan secara langsung, jika belum terbentuknya kesadaran masing2 cabang dalam perhelatan akbar menanggapi secara serius isu perubahan nama HMI. Keberanian itu muncul, ketika penekanan terasa lebih keras memblokade MPO di segala lini (bukan hanya di barat saja, akan tetapi keseluruhan HMI se-Indonesia dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang memihak kepada organisasi-organisasi yang diakui pemerintah tentunya). dan ini berarti sangat berkaitan dengan kejelasan identitas organisasi.

Pada jaman rezim Soeharto, nama HMI (MPO) tidak asing lagi di kalangan aktivis mahasiswa, bahkan organisasi ini adalah yang kali pertama menyuarakan penurunan mantan pelanggar HAM no. 1 di Indonesia. Namun masih tetap dibanggakan ketika pasca reformasi, dicabutnya undang2 tentang landasan ideologi ormas2 Islam menjadi ideologi nasionalis, serta kembalinya HMI Dipo memeluk Islam. MPO hanya menggigit jari, bahkan tanpa "menyoraki" kembarannya yang sudah sadar, seakan2 senang dengan perbuatan tetangga yang bikin "ngocol" tersebut....

Dampak dari fenomena se-urgent itu saja, MPO mati tak berkutik, bahkan hanya membangga2kan diri sendiri, jika MPO itu masih eksis. mungkin itu menjadi awal mula keterpurukan MPO selama ini, dan kita tidak bisa menyalahi diri kita sendiri, yang lalu biarlah menjadi spion untuk masa depan MPO. dan menurut hemat saya, isu perubahan nama ini masih tetap wajar dan masih belum terlambat, ketika nilai2 kesadaran manusia itu masih dijunjung tinggi....

salam,
Muhammad Insan Kamil Selengkapnya...

Rabu, 01 April 2009

Wawancara

WAWANCARA DENGAN SYAHRUL EFENDI DASOPANG

PERLUNYA REFORMASI MUI
Munculya fatwa haram golput, merokok dan yoga banyak menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Termasuk juga bagi kalangan ormas-ormas Islam dan organisasi kemahasiwaan yang menanggapi beragam terhadap fatwa tersebut. Salah satu diantara organisasi mahasiswa tersebut adalah HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi) yang merupakan salah satu organisasi mahasiswa Islam yang ada di Indonesia. Ketua Umum PB HMI, Syahrul Efendi Dasopang, yang merupakan representasi dari organisasi ini menyampaikan pendapatnya tentang fatwa haram yang dikeluarkan oleh MUI, saat ditemui ditempat Latihan Kader II HMI Cabang Jakarta.

Intuisi : Bagaimana HMI menyikapi munculnya fatwa haram golput dan rokok yang dikeluarkan oleh MUI beberapa saat lalu di Padang?

SED : HMI pada dasarnya belum mempunyai sikap resmi terhadap munculnya fatwa haram golput dan rokok yang dikeluarkan oleh MUI.

Intuisi : Kanda sendiri sebagai representasi dari HMI yang merupakan ketua umum PB HMI, bagaimana menyikapi hal ini?

SED : dari sisi proses munculnya fatwa tersebut, saya menilai fatwa tersebut bermasalah. Pertama timing (waktunya) tidak tepat karena terlihat sangat politis dan sangat dipaksakan. Kedua, MUI tidak mewakili semua ulama di Indonesia, saat ini MUI hanya diisi oleh perwakilan-perwakilan dari beberapa ormas-ormas Islam yang belum tentu bisa mewaikili seluruh umat Islam sehingga fatwa yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kebutuhan umat saat ini. Ketiga, MUI adalah bagian dari pemerintah, sehingga fatwa-fatwa yang dikeluarkan terlihat hanya legitimasi terhadap kebijakan pemerintah.

Intuisi : Beberapa survei yang dilakukan, memperlihatkan bahwa kecendrungan masyarakat untuk ikut pemilu pada april mendatang sangat rendah, atas dasar ini kemudian MUI mengeluarkan fatwa haram golput. Jika dilihat dari sisi kemaslahatan, apakah fatwa ini bisa diterima?

SED : Jika alasan ini yang digunakan, fatwa ini bermasalah. Tidak ada dasar hukum yang bisa digunakan. Jika maslahah mursalah yang digunakan, muslahah muslahah yang mana. Ini memperlihatkan fatwa MUI itu hanya melegitimasi kepentingan pemerintah dan partai politik. Golput rokok misalnya, jika dilihat dari sisi maslahat, ini juga bermasalah. Jika ingin melindungi orang yang tidak merokok, bagaimana dengan dampak ekonomi dari fatwa tersebut. Jadi, MUI juga harus melihat akibat yang disebabkan oleh fatwa tersebut.


Intuisi : Jika dilihat dari sisi peran ulama dalam politik, kanda melihat munculnya fatwa ini sebagai kemajuan atau biasa-biasa saja?

SED : menurut saya ini justru sebuah kemunduran keran politik bukan domain ulama. Tidak seharusnya ulam terlibat dalam aktifitas politik apalagi memberikan legitimasi hukum agama. Seharusnya MUI mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan permaslahan umat yang paling mendasar. Dalam bidang pendidikan misalnya, kenapa MUI tidak mengeluarkan fatwa haram tentang BPH (Badan Hukum Pendidikan), yang saat ini sangat merugikan masyarakat dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hampir semua fatwa MUI tidak ada yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan masyarakat.




Intuisi : sehubungan dengan fatwa tersebut dalam masyarakat dimana ketika kita menolak fatwa tersebut kita akan dianggap masuk neraka oleh sebahagian orang. Inikan sangat meresahkan masyarakat. Jika demikian apakah MUI sebagai pemberi solusi atau malah sebagai pembuat masalah baru dalam masyarakat?

SED : Jika kasusnya seperti itu, maka MUI adalah problem maker bukan solution maker bagi masyarakat. Jika kasusnya seperti itu ya. Kalau ada kasus seperti itu artinya akan muncul kasus baru dalam masyarakat, itulah sebabnya MUI sebagai problem maker. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu mengikuti fatwa tersebut. Pertama, karena memang tidak pantas mengeluarkan fatwa tersebut dan terlihat sangat dipaksakan. Oleb sebab itu, saya menilai MUI ini perlu direformasi. Lembaga Ulama harus berasal dari kehendak masyarakat, bukan yang dibuat oleh pemerintah seperti saat ini. Ulama juga harus yang wara’, bukan yang seperti saat ini, dimana MUI hanya diisi oleh perwakilan-perwakilan ormas Islam.

Intuisi : Maksud kanda direformasi?
SED : ya memang harus direformasi. MUI itu sejarahnya dibuat oleh pemerintah dan merupakan lembaga pemerintah dibidang keagamaan. Artinya, MUI lahir bukan dari kehendak umat Islam. Lembaga Ulama harus muncul dari bawah bukan kehendak dari pemerintah. Ulama yang mengisi juga harus ulama yang benar-benar wara’ yang mempunyai kharismatik ditengah masyarakat. Bukan karena dia pemimpin sebuah ormas Islam, yang belum tentu merupakan seorang ulama, lantas menjadi bagian dari MUI. Disinilah perlunya reformasi lembaga MUI. Sistem dan ulama yang mengisi MUI harus benar-benar mumpuni dan mengerti permasalahan umat Islam secara keseluruhan. Sehingga fatwa yang dikeluarkanpun berpihak kepada kepentingan rakyat dan bukan melegitimasi kepentingan pemerintah. (SUN) Selengkapnya...

Kamis, 19 Februari 2009

Milis LAPMI Jaksel Keluar


LAPMI Jaksel akhirnya menyediakan layanan mailing list (milis) sebagai media tukar pikiran lebih dalam antar pembaca Jurnal Intuisi versi blog dan cetak, dan keguanaan lainnya yang berhubungan dengan LAPMI Jaksel.
Untuk mendaftar, silahkan kirimkan email kosong Yahoo Anda ke alamat: lapmijaksel-subscribe@yahoogroups.com
atau kunjungi www.yahoogroups.com, lalu search: LAPMI Jaksel dan langsung daftar sebagai anggota milis.
Setelah Anda bergabung, silahkan berpartisipasi aktif sebagai anggota milis LAPMI Jaksel.

Post message: lapmijaksel@yahoogroups.com
Subscribe: lapmijaksel-subscribe@yahoogroups.com
Unsubscribe: lapmijaksel-unsubscribe@yahoogroups.com
Selengkapnya...

Rabu, 18 Februari 2009

Capres Independen Ditolak, What Next?

Kemarin MK akhirnya memutuskan untuk menolak uji materi tentang capres independen. Sangat disayangkan memang, padahal harapan itu sempat hadir lewat sosok Fadjroel Rachman yang berani membawa isu ini ke MK.


Terlepas dari kegagalan beliau, saat ini toh Bang Fadjroel menjadi ikon demokrasi baru di Indonesia. Sosoknya terasa semakin segar, manakala kita ingat betapa sesaknya nama Capres hanya oleh orang itu-itu saja; SBY dan Megawati. So, sekarang ini, tentang Capres Independen akan kita tunda hingga usaha amandemen uud 1945 kembali bergulir, untuk memberi peluang kepada capres independen.
Lalu, apa peran dan sikap HMI MPO dalam melihat fenomena ini?
HMI MPO untuk saat ini sangat tertinggal dalam mendorong demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Hampir tidak ada wacana dan perjuangan baru yang diusung olehnya. Miris memang. Apalagi, kita ingat, dalam kompas edisi kemarin, HMI justru telah lebih dulu mewacanakan Pemilih Cerdas dan berkomitmen untuk mengawal pemilu 2009 dengan melakukan pendidikan pemilih. Lalu, apa artinya wacana HMI MPO yang bertekad untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilu 2009. NON SENSE! Tidak Ada! Nihil! atau Bohong!
HMI MPO hanya berteriak-teriak (atau bahkan diam!!) dalam kerangkeng yang dibuat oleh mereka sendiri.
Nah, ada momentum pasca putusan MK yang menolak Capres INdependen. Sebaiknya, HMI MPO kembali menyuarakan TOLAK PEMILU sebagai penegas identitas dan sikap politiknya. Walaupun sudah agak ketinggalan, namun bila HMI MPO mengambil posisi dan sikap TOLAK PEMILU, maka strategi ini akan sangat menarik.
TOLAK PEMILU adalah ekspresi dan antitesis terhadap keluarnya FATWA HARAM GOLPUT oleh MUI dan gagasan PEMILIH CERDAS oleh HMI. POsisi ini sangat berarti, pertama, berlawanan dengan fatwa MUI berarti menegaskan HMI MPO sebagai organisasi intelektual bukannya kelompok fukaha belaka. kedua, mengimbangi wacana Pemilih Cerdas dari HMI berarti HMI MPO konsisten dengan posisi antitesis terhadap HMI, dan tetap memegang identitas kritis atas negara ini.
Bila di tahun 2004, HMI MPO menolak Pemilu dikarenakan banyaknya kekacauan dalam proses dan tahapan pemilu, termasuk unsur-unsur di dalamnya, maka di Pemilu 2009 pun tidak jauh beda keadaannya. Jadi, tunggu apa lagi??
TOLAK PEMILU DAN PILPRES 2009!!!
Selengkapnya...

Kamis, 12 Februari 2009

Editorial: FATWA MUI HARUS DITELAAH ULANG

Editorial:
Fatwa MUI Harus Ditelaah Ulang

Setelah pada tanggal 23-26 Januari 2009 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III di Padang Panjang, Sumatera Barat, MUI berhasil mengeluarkan sekitar 24 fatwa baru dalam forum tersebut. Beberapa fatwa tersebut memancing kontroversi di kalangan ummat, di antaranya yakni fatwa haram golput (tidak memilih dalam Pemilu), fatwa haram merokok dan fatwa haram yoga. Fatwa-fatwa itu disikapi secara berbeda-beda oleh ummat dan ulama lainnya di luar MUI. Di antara mereka itu ada yang menerima, namun juga banyak yang menolak. Perbedaan penerimaan fatwa MUI tersebut setidaknya memancing pertanyaan mendesak yang perlu diajukan, yaitu mengapa ummat begitu berbeda dalam menanggapi fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI? Mengapa tidak semua fatwa MUI diterima begitu saja oleh ummat?


MUI memang memiliki beberapa argumen penting dalam mendukung beberapa fatwa haram tersebut. Misalnya, untuk fatwa golput, MUI berpendapat bahwa Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Selain itu, memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Adapun fatwa haram merokok muncul disebabkan oleh semakin berbahayanya rokok dalam memperburuk kualitas kesehatan ummat. Sedangkan, fatwa faram yoga muncul sebab ada dugaan bahwa yoga menggunakan beberapa ritual hindu dalam prakteknya.
Masalahnya, argumen MUI tersebut digugurkan satu per satu – bukan oleh pemuka agama lain – justru oleh ummat Islam sendiri. Fatwa yoga ditolak oleh kalangan ummat yang menikmati manfaat kesehatan yang didapatkan oleh yoga. Kemudian, fatwa merokok ditolak – terutama oleh ulama tradisional pesantren – karena industri rokok merupakan tumpuan utama roda ekonomi sebagian ummat. Adapun untuk fatwa haram golput, beberapa kelompok Islam garis keras tegas-tegas menolak fatwa haram golput disebabkan pandangan politik mereka, yang memandang bahwa sistem politik Indonesia saat ini tidak Islami.
Ironisnya, penolakan atas fatwa MUI hampir tidak kelihatan saat MUI mengeluarkan fatwa sesat, contohnya Ahmadiyah. Sebagian besar ummat jelas-jelas menerima secara membabi-buta, bahkan dengan tanpa disuruh oleh MUI, langsung meluluhlantahkan seluruh fasilitas ibadah Ahmadiyah. Keadaan mereka saat itu seakan memperlihatkan bahwa otoritas MUI sama sekali tidak bisa terbantahkan.
Fenomena perbedaan penerimaan fatwa MUI ini memang mengkhawatirkan. Karenanya, kita harus melihat akar utama yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, fatwa MUI memang telah disadari – meski sering kali disangkal oleh ummat sendiri – tidak cukup kuat dalam konteks sumber hukum Islam, apalagi sumber hukum NKRI. Fatwa MUI akhirnya diakui hanya sebatas pendapat atau rujukan yang sifatnya tidak mengikat. Sekarang, tinggal ummat Islam harus jujur dan menerima kenyataan ini secara arif.
Kedua, penerimaan dan penolakan atas fatwa MUI lebih condong disebabkan adanya kepentingan tertentu, yang bisa saja disepakati ataupun tidak. Perbedaan ini terlihat dalam kasus penolakan fatwa haram golput, di mana kelompok Islam garis keras menolaknya disebabkan perbedaan ideologi dan kepentingan politis.
Ketiga, persoalan fatwa MUI ini, secara tersirat, diterima atau ditolak oleh ummat disebabkan persoalan suka atau tidak suka (like or dislike). Sisi ini terlihat dalam kasus fatwa haram merokok atau yoga. Mereka yang sudah terlalu suka dengan rokok atau yoga, cenderung menolak fatwa MUI, meskipun memang ada juga yang menerima dan langsung berhenti merokok atau yoga. Hal ini sekaligus menunjukkan tingkat kedewasaan ummat, yang sudah berani secara pragmatis menerima atau menolak fatwa tersebut.
Keempat, MUI kurang jeli dalam pemilihan fatwa yang hendak dikeluarkan. MUI terlalu gegabah dalam mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak secara langsung bersentuhan dengan persoalan teologis ummat. Ini terlihat seperti dalam kasus fatwa yoga dan merokok.
Keempat, MUI kurang mengkaji substansi persoalan fatwa yang dikeluarkan, dan akibat yang mungkin ditimbulkannya. Misalnya, dalam kasus fatwa haram golput. MUI seakan-akan ingin memperbaiki kualitas partisipasi politik masyarakat, dalam konteks demokrasi. Padahal, sebenarnya mereka gagal memahami substansi demokrasi itu sendiri. Akibatnya, dengan fatwa haram golputnya, MUI dinilai kurang bisa menghargai hak-hak asasi manusia. Dalam kasus lainnya, seperti fatwa haram merokok, MUI kurang sensitif menangkap kenyataan bahwa industri rokok adalah juga tempat bergantung sebagian ummat untuk bekerja dan menopang hidupnya. Padahal, MUI sendiri kurang bertanggung jawab dalam menawarkan solusi jitu atas akibat lanjutan dari fatwa haram merokok itu.
Kelima, sebagian besar ummat sudah jenuh dengan terlalu banyaknya aturan hidup berupa fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Fatwa MUI juga cenderung diteruskan menjadi sebentuk anarkisme massal oleh sebagian ummat Islam. Bahkan, fatwa MUI juga gagal dalam merepresentasikan aspirasi otentik dari ummat Islam yang sebagian besar mengalami ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik.
Karenanya, MUI sebaiknya segera menimbang kembali peranannya, dan juga krisis dalam ummat Islam akibat fatwa-fatwa kontroversialnya. MUI harus introspeksi diri, dan ummat pun harus semakin tegas dalam hal standar penerimaan dan penolakan sebuah fatwa.

Selengkapnya...

Follow Up LK 1

Artikel Terpopuler

Widget edited by Anang

Tentang LAPMI Jaksel

Foto saya
Ciputat, Jakarta Selatan/Tangerang Selatan, Indonesia
Blog ini dikelola oleh LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan sejak 30 Oktober 2008. LAPMI adalah singkatan dari Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Blog ini diharapkan menjadi media di dunia maya untuk mempublikasikan karya-karya LAPMI HMI MPO Jaksel. Direktur Utama: Daimah Fatmawati Direktur Litbang: Bahrul Haq Al-Amin Direktur Penerbitan: Sunardi Panjaitan. Selamat menyimak!

Personel LAPMI Jaksel

  • Daimah Fatmawati as Direktur Utama
  • Sunardi Panjaitan as Direktur Penerbitan
  • Bahrul Haq Al-Amin as Direktur Litbang
  • Iffati Zamimah as Sekretaris LAPMI

Notifikasi Email

Masukkan alamat email Anda untuk mendapatkan pemberitahuan jika ada artikel/berita terbaru!

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang