TRANSFORMASI PERAN POLITIK ULAMA DI INDONESIA
Oleh : Sunardi Panjaitan
Beberapa waktu yang lalu, partai Kebangkitan Bangsa (PKB) versi Muhaimin Iskandar yang merupakan partai politik peserta pemilu 2009 melakukan silatuhrahmi dengan ratusan ulama kampung. Tidak hanya PKB, ratusan caleg pada pemilu 2009 juga ramai-ramai melakukan silatuhrahmi dengan ulama-ulama di daerah terutama dengan datang ke beberapa pesantren. Dan hal ini sudah menjadi tradisi menjelang pemilihan umum. Mengapa hal ini terus terjadi?
Menjelang pemilihan umum 2009 yang akan datang, politik kaum santri kembali menguat. Hal ini mengingat posisi umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini. Dengan jumlah yang cukup signifikan dalam pemilu, wajar jika semua partai politik peserta pemilu dan politisi berlomba-lomba untuk mendapatkan suara dari pemilih Islam.
Belajar dari Imam Khomeini
Revolusi Islam Iran yang merupakan sebuah revolusi politik yang terjadi untuk pertama kalinya di negara Islam adalah hasil dari perjuangan para ulama bersama dengan masyarakat di negara tersebut.
Revolusi yang terjadi mampu merubah sistem politik dan sistem negara dari sistem Monarki yang sudah bertahan lebih dari 2500 tahun, menjadi negara republik demokratis tersebut, tidak bisa dilepaskan dari peran penting seorang ulama yaitu Ayatullah Khomeini sebagai peminpin ulama.
Sebagai seorang ulama, yang dilakukan oleh Khomeini tidak hanya memberikan “siraman rohani” kepada masyarakat luas. Selain memberikan ceramah agama, Khomeini juga mampu mengkonsolidasikan kekuatan yang ada dalam masyarakat untuk memberikan perlawanan terhadap rezim yang otoriter dan tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya.
Tidak hanya mengajak masyarakat untuk melawan sistem, Khomeini juga mempunyai konsep kenegaraan yang kemudian diterapkan pasca kejatuhan rezim otoriter Monarki. Dengan konsep kenegaraan tersebut, Khomeini mempunyai dasar dan modal dalam mengkonsolidasikan kekuatan masyarakat Iran.
Konsep yang ditawarkannya adalah Wilayatul Faqih. Dalam Wilayatul Faqih otoritas kepemimpinan tertinggi dipegang oleh seorang yang mengerti hukum-hukum Islam. Konsep ini di susun oleh Khomeini selama dia berada di kota Nejf.
Dalam konsep wilayatul Faqih, seorang ulama yang diangkat menjadi wali Faqih merupakan otoritas tertinggi dalam konstitusi negara. Produk undang-undang yang sudah dibahas oleh parlemen akan disaring oleh dewan faqih -yang juga dipilih oleh rakyat- apakah sesuai dengan syariat Islam. Bahkan seorang calon kepala negarapun, harus mendapat persetujuan dari wali faqih jika hendak maju dalam pemilihan presiden Iran.
Dalam konsep ini, ulama memegang peranan yang sangat penting dalam sistem politik dan kenegaraan. Bahkan dalam menentukan kebijakan negara. Alhasil, saat ini Iran merupakan salah satu negara di kawasan Timur-Tengah yang mampu mengimbangi kedigdayaan Israel dan Amerika Serikat.
Namun demikian, untuk menjadi seorang ulama di Iran, tidaklah mudah. Seorang calon ulama harus melewati beberapa tahapan yang sudah diterapkan. Untuk menjadi seorang ulama di Iran, harus lulus sekolah ulama –seperti halnya sekolah kepastoran- dalam agama Kristen, serta mendapat sertifikat ulama. Jadi, tidak semua orang yang ahli dalam bidang agama bisa dikatakan telah menjadi ulama. Tidak hanya mengerti hukum-hukum dan syariat Islam, seorang ulama juga harus mengerti tentang sistem politik dan kenegaraan.
Ulama di Indonesia?
Lalu, bagaimanakah peran ulama dalam sistem politik di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus melihat realitas dalam posisi ulama dan struktur masyarakat dan politik di Indonesia.
Di Indonesia, untuk bisa menjadi ulama tidak harus mendapatkan sertifikat keulamaan seperti halnya di Iran. Seorang yang sudah mempunyai ilmu yang tinggi tentang agama Islam dan hukum-hukumnya di Indonesia bisa disebut seorang ulama. Apalagi jika sudah mengasuh pondok pesantren.
Dalam struktur masyarakat Indonesia, terutama golongan santri yang cukup mayoritas, ulama masih sangat besar perannya dalam menetukan pilihan para pemilih. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama setempat terutama ulama yang berpengaruh akan mampu merubah pilihan masyarakat disekitarnya. Ulama masih menjadi referensi dalam menentukan pilihan politik sebhagian masyarakat Indonesia.
Oleh sebab itu, menjelang pemilihan umum kita akan menyaksikan aksi-aksi politik dari partai politik dan politisi yang melakukan silaturahmi dengan ulama dan masyarakat setempat. Jika sudah mendapatkan restu dari ulama maka jalan untuk medapatkan kursi akan semakin mudah.
Apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan di Iran. Para politisi ingin mendapatkan restu dari ulama. Namun yang membedakan adalah, jika di Iran, restu diberikan oleh sebauh lembaga ulama yang merupakan lembaga tertinggi dalam konstitusi negara. Jika tidak mendapatkan restu dari ulama, maka politisi tidak bisa maju pada tahap selanjutnya. Artinya ini adalah sebuah keharusan.
Sementara itu, di Indonesia, ulama hanya menjadi alat politik untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan dari masyarakat. Hal ini karena posisi ulama hanya sekedar sebagai pemberi restu semata.
Oleh karena itu, ulama Indonesia harusnya bisa melakukan transformasi kearah yang lebih besar. Apa yang dilakukan oleh Imam Khomeini bisa menjadi contoh bagi ulama di Indonesia. Bahwa seorang ulama tidak hanya melakukan siraman rohani akan tetapi juga memberikan penyadaran politik kepada masyarakat. Tidak hanya menyuruh masyarakat untuk bersabar ketika pemerintah tidak memenuhi kebutuhan rakyatnya, akan tetapi memberikan penyadaran akan hak-hak masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
Dalam tataran inilah, seorang ulama dituntut tidak hanya paham tentang agama dan hukum-hukumnya, akan tetapi juga mengerti tentang sistem politik dan kenegaraan. Sehingga ketika ada ketidakadilan yang di alami oleh masyarakat, justru ulama harus tampil untuk melakukan tuntutan kepada pemerintah.
Mungkin ulama di Indonesia mencontoh apa yang dilakukan oleh biksu di Thailand yang menuntut turunnya rezim berkuasa. Atau biksu di Tibet yang justru menjadi pioner dalam menuntut ketidakadilan yang dialami masyarakat Tibet dari pemerintahan China. Sehingga pada pemilihan umum 2009 yang akan datang, ulama tidak hanya dianggap sebagai alat politik oleh para partai politik atau politisi, tidak hanya tempat meminta restu, akan tetapi harus menjadi pemain politik itu sendiri.
|