Selamat Datang di Jurnal INTUISI, Blog resmi LAPMI Jaksel

Selamat Datang di Jurnal INTUISI, Blog resmi LAPMI Jaksel.

Terima kasih atas kunjungan Anda sekalian. Jurnal INTUISI, sebagai blog resmi LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan, berusaha menyuguhkan update informasi maupun kajian yang berlangsung di seputar lingkungan HMI MPO Cabang Jakarta Selatan. Kami berharap, para pengunjung sekalian dapat menikmati suguhan ini dan meninggalkan catatan-catatan kecil demi perbaikan ide-ide kami di masa yang akan datang. Sebab, Jurnal INTUISI hadir untuk menangkap pengetahuan secara keseluruhan!

Tim LAPMI Jaksel

Ada Apa di Jurnal INTUISI?

  • Update Jurnal INTUISI Versi Cetak
  • Editorial Aktual
  • Update Info HMI JakSel
  • Opini Beragam
  • Kajian Mendalam
  • Fitur Tambahan Seru
  • Partisipasi Terbuka

Jumat, 07 November 2008

Media Mengawal UU Pornografi


Media Mengawal UU Pornografi

Oleh: Bahrul Haq Al-Amin (Litbang LAPMI Jaksel)


Sebelum disahkan pada tanggal 30 Oktober 2008 lalu, UU Pornografi mendapat banyak sorotan dari media massa. Sekarang, setelah akhirnya undang-undang kontroversial itu disahkan, akankah UU Pornografi tetap mendapat kawalan dari media?




Meskipun telah disahkan beberapa hari lalu, hingga saat ini angin penolakan terhadap UU Pornografi toh masih terdengar. Dalam edaran di mailing list, masih terdapat kelompok masyarakat yang menyatakan penolakannya terhadap undang-undang itu. Sebagai contoh yaitu organisasi NIM (National Integration Movement) yang masih menyebarluaskan petisi penolakan terhadap UU Pornografi. Dalam petisinya, NIM menganggap bahwa negara telah mengabaikan berbagai keberatan yang disampaikan oleh masyarakat, seperti di daerah DIY, Bali, Sulawesi Utara dan Papua. NIM masih mengkhawatirkan potensi disintegrasi yang dimiliki oleh UU Pornografi itu. Selain NIM, elemen civil society lainnya seperti kalangan seniman, sastrawan dan insan entertainment tanah air masih khawatir atas beberapa pasal yang dianggap mengancam profesi atau dianggap kurang jelas sehingga berpotensi memprovokasi masyarakat. Adapun di kalangan politisi, telah jelas dua fraksi di DPR – yaitu Fraksi PDI-P dan Fraksi PDS – sejak Rapat Paripurna pengesahan RUU Pornografi telah memutuskan untuk menolak undang-undang itu.

Di lain pihak, para pendukung UU Pornografi sepertinya telah menganggap selesai perjuangan mereka dalam mengusung undang-undang itu. Dalam beberapa pemberitaan di media, suara dukungan terhadap undang-undang itu seakan menghilang sesaat setelah pengesahan.

Perbedaan penyikapan atas UU Pornografi antara pendukung dan penolak menjadi terlalu nyata. Para penolak undang-undang menunjukkan suatu sikap yang jelas dan akan meneruskan protes mereka ke meja hijau dalam bentuk judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Adapun para pendukung seakan sudah merasa puas saja dengan keputusan disahkannya undang-undang itu.

Permasalahannya kemudian ialah siapa yang akan mengawal implementasi dari UU Pornografi tersebut? Sejatinya, para pendukung undang-undang itulah yang paling bertanggung jawab dalam mengawalnya. Sebab, sejak awal diprosesnya UU Pornografi, mereka senantiasa berusaha mengelak saat dikatakan bahwa undang-undang itu identik dengan identitas politik keagamaan tertentu – dalam hal ini syariat Islam –. Para pendukung UU Pornografi juga cenderung membela undang-undang itu ketika dituduh berpotensi memecah-belah bangsa ataupun mendiskriminasi kaum perempuan. Mereka malah sangat yakin bahwa undang-undang itu hanya dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya industri pornografi yang sangat berbahaya terhadap generasi bangsa. Karenanya, pantaslah jika sekarang mereka bertanggung jawab untuk mengawal implementasi undang-undang itu agar sesuai dengan niat awal dibuatnya, serta tetap menghindari berbagai isu yang dialamatkan terhadapnya.

Malangnya, tanggung jawab itu tidak segera dipikul oleh para pendukung UU Pornografi. Mereka cenderung sudah merasa puas dan lepas tangan atas kelanjutan undang-undang itu. Padahal, inilah yang sangat berbahaya. Sebab, pertama, undang-undang itu akan segera menjadi mudah diserang kembali oleh para penolaknya. Kedua, UU Pornografi juga potensial untuk diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga membuktikan berbagai kekhawatiran, tuduhan dan isu-isu yang sejak lama dialamatkan terhadap undang-undang itu.


Media Yang Mengawal

Karenanya, harapan bisa kita gantungkan di pundak media massa (pers). Media harus tetap meneropong dan waspada dalam mengawal UU Pornografi. Implementasi dari undang-undang ini sebaiknya tetap direkam oleh media. Terlepas dari subjektifikasi media massa itu sendiri. Tapi, paling tidak informasi dan kemajuan dari undang-undang itu tetap disampaikan pada publik.

Memang, tentang pengawalan oleh media ini bukan tanpa rintangan. Industri media toh merupakan bisnis tersendiri, di mana mereka hanya akan mengabadikan sebuah peristiwa jika bernilai tinggi dan cukup kontroversial. Maksudnya, media juga sebenarnya mengandalkan kawalan dari masyarakat dan perkembangan tanggapan mereka atas undang-undang itu. Sumber berita media massa memang masyarakat itu sendiri. Namun, untuk saat ini, berita tentang UU Pornografi paling-paling hanya akan datang dari para penolak undang-undang itu. Sehingga berita yang akan ditampilkan menjadi cukup monoton. Hanya akan berkisar pada suara-suara penolakan yang diulang-ulang. Sedangkan pengawalan dari para pendukung teramat minim.

Problem lain yang muncul ialah kenyataan bahwa industri media sendiri menjadi salah satu objek sasaran UU Pornografi. Artinya, kemunculan undang-undang ini tentu saja otomatis menjadi lampu kuning bagi kebebasan pers itu sendiri. Maka menjadi wajar, jika beberapa media secara subjektif akan menghindari untuk menayangkan berita terkait dengan undang-undang tersebut.

Meskipun demikian, tugas media tetap tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di antara sudut pandang yang perlu diambil oleh media dalam mengawal UU Pornografi antara lain: pertama, media harus mendorong negara untuk menjaga implementasi undang-undang itu agar senantiasa tidak mendiskriminasi kelompok-kelompok masyarakat tertentu, semisal perempuan serta industri seni dan pariwisata, sebagaimana selama ini sering ditakutkan. Negara juga sebaiknya menekan pemerintah daerah untuk tidak menganggap undang-undang ini sebagai peluang dalam menelurkan peraturan-peraturan daerah yang bernuansa salah satu identitas agama. Media selanjutnya harus mengingatkan negara bahwa perempuan dan anak sejatinya harus menjadi pihak yang dilindungi dan bukannya turut dipersalahkan atas industri pornografi.

Kedua, media sebaiknya memberi koridor yang tepat pada masyarakat mengenai maksud peran serta masyarakat, seperti yang disebutkan dalam UU Pornografi pasal 20 dan 21. Maksudnya, media harus meluruskan acuan peran serta masyarakat dalam membatasi industri pornografi agar tetap berpegang pada prosedur hukum yang berlaku. Hal ini sangat penting sebab beberapa waktu lalu, beberapa kelompok masyarakat terkenal senang sekali bertindak main hakim sendiri dalam memberantas beberapa fenomena sosial yang biasa disebut maksiat. Kelompok masyarakat ini memang telah melalui prosedur hukum yang berlaku, namun pada akhirnya mereka tidak puas dan menempuh cara sendiri-sendiri. Inilah yang juga harus diawasi oleh media massa.


Kembalikan Pada Niat

Memang benar bahwa kewajiban untuk mengawal UU Pornografi tidak hanya tugas media massa saja. Masyarakat Indonesia secara luas yang wajib menanggung itu semua. Seluruh elemen bangsa ini, baik yang mendukung maupun yang menolak, harus kembali ingat niat awal dalam mensahkan undang-undang ini. Bahwa undang-undang ini berusaha menyelamatkan masa depan bangsa dari kehancuran standar moralitas dan etika masyarakat. Kita juga harus ingat bahwa UU Pornografi sama sekali tidak mutlak identik dengan salah satu identitas keagamaan tertentu. Bahkan, ada atau tidaknya undang-undang ini tidaklah penting jika mengingat niat awal kita ini, asalkan syaratnya semua elemen bangsa tetap sepakat untuk mempersiapkan masa depan bangsa yang lebih bermartabat.

Karenanya, menjadi ironis jika undang-undang ini dikhawatirkan akan membawa disintegrasi bagi bangsa. Hemat saya, isu ini sebaikanya kita hindari sebab hanya akan menghembuskan ketegangan dalam kehidupan berbangsa kita. Disintegrasi bangsa adalah sesuatu hal yang mutlak harus kita hindari apapun tanggapan kita terhadap UU Pornografi.

Terakhir, semoga media-media di Indonesia berada pada garis terdepan dalam mengawal implementasi undang-undang yang terkenal kontroversial ini. Semoga, dengan begitu, kaum pendukung UU Pornografi segera tersadar bahwa merekalah yang paling bertanggung jawab dalam menjaga undang-undang itu tetap pada koridor hukum yang benar. Semoga!





Follow Up LK 1

Artikel Terpopuler

Widget edited by Anang

Tentang LAPMI Jaksel

Foto saya
Ciputat, Jakarta Selatan/Tangerang Selatan, Indonesia
Blog ini dikelola oleh LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan sejak 30 Oktober 2008. LAPMI adalah singkatan dari Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Blog ini diharapkan menjadi media di dunia maya untuk mempublikasikan karya-karya LAPMI HMI MPO Jaksel. Direktur Utama: Daimah Fatmawati Direktur Litbang: Bahrul Haq Al-Amin Direktur Penerbitan: Sunardi Panjaitan. Selamat menyimak!

Personel LAPMI Jaksel

  • Daimah Fatmawati as Direktur Utama
  • Sunardi Panjaitan as Direktur Penerbitan
  • Bahrul Haq Al-Amin as Direktur Litbang
  • Iffati Zamimah as Sekretaris LAPMI

Notifikasi Email

Masukkan alamat email Anda untuk mendapatkan pemberitahuan jika ada artikel/berita terbaru!

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

TRANSLATE THIS BLOG

Translate this page from Indonesian to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Widget edited by Anang