PROBLEM NALAR ISLAM POLITIK DI INDONESIA*
Oleh: M. Syifa Amin Widigdo*
Mereka mengajak kembali ke masa silam. Sungguh pun mereka sedang menuju masa depan, namun wajah-wajah mereka tertuju ke belakang.
(Dr. Hassan Hanafi, 2003)
Mengapa Islam politik perlu dibedakan dengan Islam kultural? Apakah keduanya memiliki karakteristik yang berbeda? Ya, wajah Islam Indonesia jika ditilik dari watak perjuangan pemikirannya memang menunjukkan dua kecenderungan. Islam politik mempunyai orientasi pemikiran dan perjuangan di wilayah politik kekuasaan (political society), sedangkan Islam kultural memiliki orientasi pemikiran dan perjuangan di level kemasyaratan non-negara (civil society). Pembedaan semacam ini tidak lalu sampai pada pendikotomian; bahwa yang satu termasuk bagian dari umat Islam sedangkan yang lain di luar umat Islam. Sebab Islam selain berdimensi kultural, juga mempunyai dimensi politik. Memisahkan Islam dari panggung politik sama dengan memisahkan garam dari rasa asinnya atau gula dari rasa manisnya sebagaimana disinyalir oleh Allan A. Samson: “Jika seseorang berhasil memisahkan gula dari rasa manisnya, maka ia akan dapat memisahkan agama Islam dari politik” (Political Power and Communication in Indonesia, Berkeley, 1978).
Islam politik memang paling mudah untuk diidentifikasi melalui keterlibatannya di partai politik (Islam) tertentu. Namun hal itu dirasa oleh sebagian kalangan tidak memadai. Bagaimana dengan kalangan yang mempunyai background Islam kuat namun mendesakkan agenda-agenda politiknya melalui ormas, ornop, atau orsospol yang tidak berlabel Islam? Ya, hemat saya, mereka tetap bagian organis dari perjuangan umat Islam, hanya saja melalui pendekatan yang lebih kultural dan substantif, tidak begitu hirau pada simbol-simbol keislaman. Kalangan ini termasuk Islam politik sejauh mereka terlibat secara praktis dengan organisasi atau lembaga politik. Jika tidak, mereka termasuk dalam kategori kalangan Islam yang bergerak di wilayah kultural. Orientasi perjuangan mereka adalah pendidikan dan pemberdayaan umat, dan bukan diarahkan pada pemerolehan kekuasaan politik. Dengan demikian, dalam konteks ini Islam politik hanyalah istilah kategoris yang dipakai untuk menyebut sebagian umat Islam yang mengartikulasikan kepentingannya melalui saluran organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga politik, khususnya partai.
Upaya Membuka Tempurung Nalar Politik
Kalangan Islam politik meyakini bahwa nilai-nilai Islam dapat dijalankan secara efektif bila mereka dapat menjadi the ruler di negeri ini. Betapapun persepsi dan penafsiran tentang nilai-nilai Islam dalam konteks politik dan kenegaraan beragam dan terus berkembang. Sayang, kemenangan politik yang diidamkan itu belum pernah tertoreh di atas kanvas sejarah Indonesia. Yang terjadi justru kekalahan demi kekalahan di pentas politik secara menyedihkan. Apakah hal ini dikarenakan realitas eksternal (baca: negara dan kekuatan politik lain) yang demikian canggih dan kuat? Atau, kalangan Islam politik itu sendiri yang lemah dan rapuh dalam banyak hal sehingga hampir selalu takluk di kancah politik?
Tidak dipungkiri bahwa hubungan Islam politik terhadap negara (dan kekuatan politik lainnya) mengalami fluktuasi. Kadang antagonistik dan pada saat yang lain tampak akomodatif, bahkan kooperatif. Suatu pola hubungan yang menandai adanya tarik ulur kekuatan politik yang ditentukan oleh kekuatan bargaining masing-masing. Namun di sini saya membatasi untuk tidak banyak berbicara tentang fluktuasi hubungan keduanya. Sebab hal itu tidak banyak membantu untuk mendedahkan problem yang dialami Islam politik secara komprehensif. Yang menarik perhatian saya justru wilayah epistemologis yang membentuk cara bernalar kalangan Islam politik ini, yakni: tentang situasi historis, doktrin keagamaan, nilai dan norma yang dianut, afinitas ideologis, dan konsepsi-konsepsi yang lalu akan melahirkan corak pemikiran dan tindakan politiknya.
Dengan cara tersebut, apa yang disebut oleh Muhammad Abed Al-Jabiry (1992) sebagai ‘nalar politik’ (al-`aql as-siyasy) akan terkuakkan. Yakni, suatu nalar yang muaranya adalah pemuasan dahaga politik dan peneguhan identitas politik. Dengan penyangga utamanya adalah apa ia sebut sebagai ketidaksadaran-politik (al-laasyu`uur as-siyaasy) dan imaginasi kolektif masyarakat (al-makhyaal al-ijtima`iy).1 Yang pertama menggambarkan struktur nalar yang terbangun dari adanya hubungan material asosiatif antara individu dan masyarakat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hubungan material yang lalu melahirkan beragam aliran kesukuan, kebangsaan, sekte atau madzhab keagamaan, dan fanatisme kelompok yang sempit. Pembongkaran terhadap ketidaksadaran-politik ini dianggap perlu karena ia akan menguak aspek-aspek politik dalam perilaku kesukuan dan keagamaan. Sedangkan yang kedua menegaskan adanya produk dari ketidaksadaran politik sebagai; kumpulan konsepsi, simbol, tanda, norma, dan nilai yang memberi bentuk bagi ideologi politik di suatu rentang sejarah tertentu dan di suatu komunitas masyarakat tertentu. Pendedahan terhadap imajinasi kolektif masyarakat ini berguna untuk mengetahui motif pemuasan dahaga politik dan pencarian identitas politik melalui invensi memori kolektif oleh kalangan tertentu.
Kalangan Islam politik di Indonesia mempunyai nalar politik yang ‘paten’ sepanjang pergulatannya dengan perjuangan kemerdekaan hingga pembangunan di era pasca kemerdekaan. Nalar itu tampaknya juga menyimpan semangat keagamaan, kemazhaban, dan kesukuan yang dianggap berguna bagi pengukuhan eksistensi politik. Namun di sini perlu diteliti lebih lanjut, apakah keterpurukannya dalam kancah politik kebangsaan dikarenakan cara bernalarnya dalam wilayah politik yang dianggap ‘paten’ itu? Apa bentuk nalar tersebut, dan bagiamana ia dikonstruksikan?
Zaman Pra-Kemerdekaan: Awal Formulasi Nalar Politik.
Rasa kebangsaan (nasionalisme) rakyat pribumi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke bukan karena kesamaan nasib sebagai bangsa terjajah saja,2 melainkan juga oleh karena tingginya derajat homogenitas agama di Indonesia; dimana lebih dari 90 persen penduduknya beragama Islam.3 Bahkan, menurut G.M.T. Kahin (1952), Islam bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, lebih dari itu, ia juga merupakan simbol kesamaan nasib (in group) menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.4 Dengan demikian, peran umat Islam dalam perjuangan mengusir penjajah dan pembangunan republik amatlah besar, baik melalui perjuangan fisik, sosial-budaya, maupun politik.
Pada mulanya perjuangan itu bersifat konvensional. Perjuangan yang bersifat politik secara terorganisir baru menemukan momentum formatifnya pada tahun 1911 hingga tahun 1945. Bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh H. Samanhoedi di Solo pada tahun 1911. Perlawanan organisasi semula tidak diarahkan kepada Belanda secara politik, namun kepada pedagang-pedagang Cina secara ekonomi. Tapi pada perkembangan selanjutnya, SDI mentransformasikan dirinya menjadi organisasi politik yang kuat setelah pada tahun 1912 menjadi Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam (SI) berkembang pesat, menyebar dari Aceh di sebelah Barat sampai Maluku di sebelah Timur, di samping juga meliputi segenap lapisan penduduk dari yang bawah sampai kepada yang atas.5 Menurut Harry J. Benda (1958), dengan menampilkan diri secara penuh kepada rakyat Indonesia, SI memperoleh dukungan dari semua kelas, di kota-kota dan desa-desa. Para pedagang muslim, para buruh di kota-kota, kyai dan ulama, bahkan juga kalangan priyayi, tetapi di atas segalanya seluruh petani bergabung ke dalam gerakan politik berbasis massa yang pertama –dan terakhir—pada masa kolonisalisme di Indonesia ini.6
Dengan demikian, SI menjadi organisasi politik nasional pertama, dan bahkan menjadi pusat kebangkitan nasional di Indonesia. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa SI di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Muis mampu ‘mengembangkan program politik yang menuntut pemerintahan sendiri (oleh rakyat Indonesia) dan ‘kemerdekaan penuh.” Sesuatu yang belum mampu dilakukan oleh organisasi manapun pada waktu itu.
Itulah saat-saat romantis dan indah bagi umat Islam. Sungguhpun demikian, dalam perjalanannya ternyata basis golongan, kelompok, mazhab, dan afiliasi ideologis lebih mengemuka di tubuh SI, dan bahkan di kalangan umat Islam secara keseluruhan. Dimulai oleh Alimin pada tahun 1916 yang mendesak agar organisasi diubah menjadi Sarekat Idjo (sehingga tetap SI). Harapannya agar organisasi ini tidak mempergunakan lagi Islam sebagai dasar, tujuan maupun unsur. Golongan komunis dengan artikulatornya seperti Alimin, Semaun, dan Darsono menghendaki agar marxisme diadopsi menjadi dasar organisasi. Dan agama, menurut mereka, harus disingkirkan dari politik praktis, seraya mengorientasikan diri mereka serta seluruh kegiatan partai kepada prinsip-prinsip marxis. Infiltrasi ide-ide marxis memuncak pada tahun 1920-an. Saat itu Semaun dan Darsono dari SI Cabang Semarang malah menjadi barisan terdepan kepemimpinan di PKI. Akhirnya, pada kongres ke-6 SI di Surabaya tahun 1921 faksi marxis dikeluarkan dari organisasi karena mereka tetap bertahan menjadi anggota, dan bahkan pemimpin di PKI.
Di samping itu, SI juga mendapat tantangan kepeloporannya dalam politik nasional oleh kalangan yang belakangan disebut nasionalis. PNI didirikan dan dipimpin oleh Soekarno pada tahun 1927, lalu pada tahun 1930-an tantangan itu dilanjutkan oleh Partindo, Gerindo, dan Parindra. Jadi, menurut Deliar Noer (2000), berkembanglah perpecahan dalam kalangan umat Islam itu, pada mulanya dengan pihak komunis (yang masih beragama Islam), dan kemudian dengan pihak nasionalis yang netral agama (yang juga sebagian besar umat Islam).7
Perpecahan berikutnya tidak hanya terhadap kalangan komunis maupun nasionalis dalam tubuh SI. Ironisnya, pada belah kedua tahun 1920-an SI (ketika itu sudah menjadi PSI –Partai Sarekat Islam) memutuskan untuk mengambil tindakan disiplin terhadap Muhammadiyah, kemudian juga terhadap Persatuan Islam. Meski semula tidak bermaksud mendirikan partai, tapi ketika Sukiman dipecat dari SI (yang sudah jadi PSII -Partai Sarekat Islam Indonesia) pada tahun 1933, tekad kelompok Muhammadiyah dan Persis untuk mendirikan partai mulai dibicarakan. Ditambah dukungan dari Thawalib di Sumatera, mereka yang kecewa dengan SI ini akhirnya mendirikan Partai Islam Indonesia pada tahun 1938 yang dipimpin oleh Sukiman.
Setelah meninggalnya Tjokroaminoto pada tahun 1934, perpecahan di dalam tubuh organisasi makin menjadi-jadi. Agus Salim dengan Barisan Penyadarnya dikeluarkan oleh Abikusno Tjokrosujoso yang memipin SI pada tahun 1936. Demikian pula Sekarmaji Maridjan Kartosuwirjo. Ia dikeluarkan dari partai, lalu pada tahun 1939 mendirikian Komite Pertahanan Kebenaran PSII. Sampai di sini, SI (yang telah menjadi PSII) benar-benar kehilangan peran kepeloporannya. Kalangan Islam politik di organisasi ini tidak dapat lagi menepuk dada dengan klaim represntasi umat Islam di wilayah politik.
Apa yang bisa kita tarik dari narasi sejarah seperti ini? Pertama, hubungan material antara pelbagai kelompok di dalam tubuh SI memantulkan sebuah ketidaksadaran politik; yakni munculnya fanatisme kelompok yang sangat berpengaruh terhadap perilaku politiknya masing-masing. Kedua, Imaginasi kolektif masyarakat Islam terfragmentasi ke dalam pelbagai model penciptaan simbol, tanda, dan afinitas nilai. SI di bawah HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Muis mengintrodusir semiotika Pan-Islamisme Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Sementara SI-Merah Semaun dan Darsono mengankat ‘panji-panji’ Karl Marx. Kalangan nasionalis begitu bangga mendendangkan kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Kalangan tradisionalis yang belum banyak melibatkan diri dalam pergerakan nasional, sibuk menangkis serangan dari kalangan modernis, seraya memeluk erat tradisi bermazhabnya secara ketat. Begitukah nalar pilitik Islam politik zaman itu?
Momentum rekonsolidasi umat Islam dilakukan oleh kalangan Islam yang berbasis sosial kuat sesaat sebelum kemerdekaan diproklamirkan. Hal yang pada waktu itu tidak terjadi di kalangan Islam politik. Yakni, ketika pada tahun 1942 Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI) didirikan kembali. Sebelumnya MIAI sudah ada sejak tahun 1935 yang merupakan wadah ormas-ormasi Islam untuk mengikatkan komitmen perjuangannya, selain melalui politik. Hampir semua organisasi Islam berkumpul di sini. Semula hanya 7 organisasi, tetapi pada tahun 1941 berkembang menjadi 21 organisasi: SI, Muhamadiyah, NU, Alj-Jamiah Al-Washliyah, Al-Khairiyah, dan sebagainya.
MIAI pada tahun 1941-an melalui juru bicaranya, Wondoamiseno, menyokong tuntutan Indonesia berparlemen dengan catatan bahwa parlemen itu harus “berdasar Islam”. Ketika Gapi (Gabungan Politik Indonesia) menyususn suatu memorandum mengenai konstitusi Indonesia masa depan, MIAI mengatakan bahwa dalam menyokong rencana Gapi, ia mengharapkan agar kepala negara Indonesia haruslah beragama Islam, dan dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang-orang Islam, suatu departemenagama hendaklah didirikan, bendera merah putih harus disertai lambang bulan sabit dan bintang, dan seterusnya.
Penjajahan Jepang tahun 1942, tepatnya tanggal 20 November, mengeluarkan kebijakan pelarangan aktivitas semua organisasi yang ada, tak terkecuali MIAI. Mula-mula pemerintahan Jepang sangat represif terhadap gerakan nasional berbasis Islam. KH Hasyim Asy’ari bahkan pernah dipenjarakan selama empat bulan gara-gara menolak kebijakan Jepang untuk melakukan saikeirei (memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah Tokyo sejauh 90 derajat). Pernah pula Jepang melakukan penutupan secara paksa terhadap banyak madrasah dan pesantren.
Namun kebijakan-kebijakan ini segera dikoreksi setelah beberapa tokoh agama mendesak Jepang agar tidak turut campur dalam urusan agama bangsa Indonesia. Situasi mulai kondusifm, sehingga kalangan Islam sosial-kultural ini memungkinkan untuk mendirikian lagi MIAI di Jakarta pada tanggal 5 September 1942, yang kemudian bermetamorfosis menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada akhir tahun 1943. Di dalam Wadah inilah para ulama dan para aktivis dakwah islam bertemu untuk membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan soal-soal keumatan.
Zaman Revolusi dan Pasca Revolusi: Kematangan Struktur Nalar Politik.
Pemikiran kalangan Islam politik diuji ketika harus merumuskan dasar kenegaraan. Pada sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 29 Mei-2 Juni 1945 Soekarno berpidato dengan sangat piawai dan berpengaruh, hingga kemudian lahirlah Pancasila. Pada sidang kedua, pada tanggal 10-14 Juni 1945 yang dibicarakan adalah konstitusi negara. Para tokoh Islam kala itu, seperti Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo (mUhammadiyah), KH Wahid Hasyim (NU), dan Ahmad sanusi (PUI) membela ideologi Islam seraya menolak kalangan nasionalis yang menginginkan kehidupan bernegara yang sekuler. Karena tidak dicapai kesepakatan, akhirnya dibentuklah 9 panitia kecil untuk menyelesaikan perdebatan konstitusi di negara yang baru akan terbentuk: empat dari kalangan Islam (Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir0 dan lima dari kalangan yang lain (Soekarno, M. Hatta, A.A. Maramis, Ahmad Subardjo, dan M. Yamin). Akhirnya suatu permufakatan dicapai, bahwa negara berdasar pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, suatu kesepakatan yang nantinya disebut sebagai Piagam Jakarta-22Juni 1945.
Kesepakatan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta itu buyar pada bulan 18 Agustus 1945. Yakni ketika PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang bersidang menghapuskan tujuh kata dari pembukaan undang-undang yang baru dibuat, yang kemudian dikenal sebagai UU 1945. Kompromi pencabutan diambil karena menurut informasi Mohammad Hatta dari seorang perwira angkatan laut Jepang, menyatakan bahwa rakyat Kristen di daerah Indonesia bagian Timur akan menolak bergabung dengan Indonesia jika tujuh kata tersebut masih tercantum. Pencabutan ini tidak hanya mengecewakan delegasi-delegasi Islam di dalamnya saja, yaitu KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Mohammad Hasan, atau Kasman Singodimedjo yang membela ideologi Islam, namun juga kalangan Islam yang lainnya. Sesudah proklamasi memang semangatnya adalah bagaimana menjaga kemerdekaan dan kesatuan bangsa, dan kalangan Islam menerima kompromi itu dengan pertimbangan bahwa pada pemilu yang akan segera digelar mereka akan menang dan dapat memasukkan kembali tujuh kata sakti itu. Pertimbangan ini sebenarnya tidak meleset, jika kalangan nasionalis tidak mengundur-undur waktu pemilu. Perkiraan Sutan Sahrir pada tahun 1946, jika pada waktu itu diadakan pemilu, maka Masyumi sebagai pertai politik satu-satunya kalangan Islam akan memperoleh 80% suara pemilih. Masyumi yang pada mulanya organisasi massa lalu menjadi partai politik setelah Muktamar Islam Indonesia tanggal 7-8 November 1945, memang menjadi wadah politik bersama yang disepakati kalangan Islam. Hampir semua organisasi Islam tergabung di dalamnya.
Perdebatan di lingkungan BPUPKI dan PPKI inilah yang semakin mematangkan watak politik dari kalangan Islam. Mode of though yang dibangun adalah bagaimana menyisipkan ideologi Islam dalam konstitusi sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbedaan mazhab dan kepentingan relatif lebur dalam satu perjuangan bersama; berhadap-hadapan secara demokratis dengan kalangan nasionalis sekuler. Zaman revolusi (1945-1950) pasca kemerdekaan ini menjadi saat-saat yang paling indah bagi Islam politik sesudah masa-masa kebersamaan di Sarekat Islam (SI) awal dahulu. Tapi sayang, momentum semacam ini buyar setelah pada tahun 1952, NU keluar dari Masyumi, Muhammadiyah, dan sebagainya. Apalagi sebelumnya pada tahun 1946 Perti telah mendirikan partai politik sendiri. Demikian juga dengan PSII pada tahun 1947. Semakin carut-cemarutlah wajah Islam politik di Indonesia setelah itu. Masyumi tidak bisa lagi mempunyai klaim sebagai satu-satunya partai umat Islam di Indonesia. Begitulah riuh rendah kiprah dan perjalanan Islam politik di zaman revolusi (1945-1950).
Nalar politik dari kalangan Islam makin menemukan masa formatifnya pada zaman pasca revolusi (1950-1966). Suatu nalar yang dicirikan oleh semangat yang mengedepankan kelompok dan kepentingan politik ketimbang idealisme politik. Keluarnya NU, Perti, PSII, Muhammadiyah, atau Persis untuk keluar dari konfederasi Masyumi menunjukkan gagalnya dekonfesionalisasi kepentingan dan konsolidasi politik internal. Sesuatu yang sangat ironik mengingat semua kelompok itu secara das sollen sesungguhnya bisa disatukan dalam naungan Islam yang menyejukkan. Akhirnya, representasi mainstream Islam politik hanya diwakili oleh Masyumi dan NU. Yang pertama, pada zaman pasca revolusi ini mengambil langkah-langkah yang antagonistik terhadap negara, sedangkan yang kedua mengambil posisi yang akomodatif terhadap negara, meski pada saat-saat tertentu juga mengambil konfrontasi, misalnya soal kebijakan UU landreform dan PKI.
Namun demikian, terhadap isu ideologi negara dalam konteks perdebatan di persidangan konstituante tahun 1956-1959, semua kalangan Islam politik berada dalam satu barisan; mendukung ideologi Islam, meskipun dalam hal politik praktis seringkali berseberangan. Hal ini tercermin dari pandangan Ahmad zaini, tokoh NU yang partainya sering dicap akomodsionis, yang mengatakan: perjuangan umat Islam selama berpuluh bahkan beratus tahun di Indonesia hanya bertujuan membentuk pemerintahan yang sesuai dengan keyakinan dan ideologi Islam.8 Artinya, para founding fathers nalar politik kalangan Islam tetap mempunyai imajinasi kolektif yang sama; yakni mengusung ideologi keislaman di pentas politik Indonesia. Hal ini direprentasikan baik oleh kalangan yang berasal dari Masyumi seperti: M. Natsir, Sukiman, Syafrudin Prawiranegara, maupun Mohammad Roem, maupun dari kalangan yang lain seperti NU; KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim, Imron Rosyadi, dan sebagainya; Muhammadiyah:; KI Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, termasuk juga dari Perti, PUI, PSII, dan Persis; seperti KH Ahmad Hasan, KH Ahmad Sanusi, KH Abdul Halim , dan sebagainya. Beberapa kalangan Islam lain yang begitu gigih di Majelis Konstituante adalah Zaenal Abidin, Isa Anshari, K.H. Masykur, selain tentunya M. Natsir dan Kasman Singodimedjo. Mereka mengajukan argumentasi-argumentasi tentang: 1). Watak holistik Islam, 2). Keunggulan Islam atas semua ideologi, dan 3). Kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warganegara Indonesia.9
Periode Orde Baru: Dekonstruksi Nalar Politik.
Orde Baru yang pada mulanya disangka mau memberi akomodasi bagi kalangan Islam politik. Ternyata kenyataan berbicara lain. Masyumi tidak boleh direhabilitasi. Sebagai gantinya, rejim membuatkan wadah bagi kalangan Islam politik eks Masyumi agar bisa dikontrol, yakni Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tanggal 20 Februari 1968. Syaratnya, para tokoh Masyumi senior tidak boleh memimpin, hanya generasi mudanya saja yang boleh. Akhirnya, Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun terpilih menjadi pucuk pimpinannya. Tidak semua Islam politik suka dengan cara dan model pendirian Parmusi. Akhirnya, pada kongres Parmusi di Malang pada tahun 1968, Mohammad Roem, terpilih menjadi ketua umum. Rejim tidak merestui kepemimpinan tokoh ini, dan mengancam untuk membubarkannya. Akhirnya, struktur kepemimpinan diambil lagi oleh ketua umum yang lama, Djarnawi Hadikusumo. Pada tahun 1970, terjadi pergolakan intenal. John Jaelani Naro mengadakan kudeta terhadap partai. Disinyalir dia merupakan orang sisipan Ali Murtopo. Pamor kritisisme parmusi pudar. Tuntutan-tuntutannya agar kembali ke Piagam Jakarta atau keinginan kalangan Islam politik untuk mengadakan Konres Umat Islam tidak mendapat izin dari rejim orde baru. Makin terpuruklah bargain kalangan Islam politik ini. Demikian pula halnya yang dialami oleh NU, PSII, dan Perti, mereka semua dikebiri tidak bisa memunculkan lagi tema-tema keislaman dalam tema-tema kampanye, apalagi dalam konteks ideologi bagi negara.. Keterpurukan Islam politik ini ditunjukkan pada pemilu tahun 1971, dimana NU mendapat 18,67%, Parmusi 5,36%, PSII 2,39%, dan Perti cuma 0,70%. Peroleh yang sebenarnya meningkat bagi NU ( mengingat Pemilu 1955 mereka dapat 18,4%) tidak berarti signifikan bagi kiprah politknya di pemerintahan maupun legislatif. Bahkan, Departeman Agama yang biasanya merupakan langganan bagi NU, kini malah diambil alih oleh orang-orang yang dikehendaki rejim. Semakin parah lagi, pada Januari tahun 1973 keempat partai Islam ini dilebur dalam satu partai secara paksa menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebuah partai yang dalam perjalanan politiknya hingga pemilu 1997 hanya menjadi pelengkap penderita saja. PPP menjadi wadah bagi kalangan Islam politik yang dipaksa menjadi penghias otoritarianisme orde baru. Mereka mengalami disorientasi politik, tidak bisa dan tidak mau melakukan pendidikan politik bagi konstituennya, dan bahkan tak punya program konkret yang berpihak kepada rakyat maupun Islam.
Sementara kalangan Islam yang di luar partai juga mengalami hal yang serupa. Terutama, organisasi-organisasi yang memakai asas Islam dalam organisasinya mengalami koersi yang kurang lebih sama. Mereka diharuskan memakai asas Islam melalui lima paket UU Politik tahun 1985. Para pendakwah dilibas pada peristiwa 12 September 1984. Bersamaan dengan itu Orde Baru mulai menoleh kepada kalangan Islam yang tidak terlalu membawa aroma politik. Ide-ide pembaruan pemikiran Nurcholis Madjid dan akomodasinya kepada beberapa organisasi Islam seperti ICMI pada tahun 1990 menunjukkan adanya politik belah bambu; yang satu diangkat sedangkan yang lain ditindih dan ditindas. Nalar Islam politik dihadapkan pada dua pilihan yang ekstrem; akomodasi terhadap kooptasi kekuasaan atau konfrontasi yang akibatnya adalah represi yang tak berkesudahan. Dan suara Islam politik nyaris tak terdengar selama rejim ini berkuasa. Kalangan yang menyebut dirinya pembaharu di wilayah kultural Islam mendapatkan ruang gerak yang jauh lebih luas ketimbang kalangan Islam politik yang cenderung simbolik. Desakralisasi politik Islam yang dilakukan oleh Nurcholis Madjid pada tahun 1970-an begitu disukai oleh rejim, selain ia bisa dipakai untuk menundukkan kalangan Islam politik, lebih dari itu, ia juga dapat menawarkan wajah Islam politik lain yang lebih ramah terhadap rezim.
Zaman Reformasi: Mestinya Ada Reformulasi Nalar Politik.
Pemilu tahun 1999 dan 2004 sebenarnya menjadi momentum yang paling baik bagi kalangan Islam politik untuk mengevaluasi dan membangun perjuangan Islam politik secara lebih canggih dan elegan. Akan tetapi, momentum seperti itu lagi-lagi harus takluk oleh terkoyaknya nalar politik internal yang masih diliputi oleh suasana sektarianisme yang sempit dari masing-masing kalangan Islam politik. Konsolidasi yang diidamkan ternyata hanya menjadi pemanis bibir. Kalangan Islam politik tidak mampu membuat sejenis rekonsiliasi internal yang tidak hanya berbasis kesamaan agama, tetapi juga program kepartaian yang berpihak kepada rakyat. Kalangan Islam politik juga gagal mendapatkan simpati dan dukungan dari konstituennya sendiri, rakyat Indonesia, yang nota bene mayoritas adalah muslim. Untuk hal yang seperti ini, bagaimana kalangan Islam politik bisa bercermin? Dengan kekalahan total mereka oleh kalangan nasionalis Golkar maupun PDI-P adalah wujud dari tidak jelasnya konsolidasi internal kalangan Islam poltik ini. Apakah hal ini dikarenakan oleh pemahan mereka yang sempit terhadap kelompok dan basis ‘ideologi’nya masing-masing?
Saya kira “ya”. Meskipun konsolidasi sempat memberikan optimisme dengan munculnya kelompok Poros tengah, namun konsolidasi semacam itu sangat permukaan, superfisial. Tidak ada agenda bersama yang konkret bagi kepentingan rakyat. Dasarnya adalah ideologi yang sempit dan kekuasaan yang memabukkan. Akhirnya, bisa ditebak, konsolidasi semacam ini mudah sekali pecah dan hancur berkeping-keping. Masing-masing memendam luka yang makin mempertebal sentimen kelompok dan ekslusifisme ideologi dan madzhab politik. Hal ini bisa dilihat dari pecahnya kongsi atau koalisi politik PKB, PPP, PAN, PBB, PK plus Golkar ketika menghadapi PDI-P untuk pencalonan presiden. Perpecahan yang lalu juga merembet pada organisasi masing-masing partai, barangkali kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara fenomenal mampu menunjukkan soliditas dan integritasnya dalam berpolitik. Namun demikian, partai-partai Islam yang nota bene merupakan representasi simbolik kalangan Islam di tingkat pusat itu, masing-masing hanya memperoleh 12,62%, 10,72%, 7,12%, 1,94%, dan 1,36% pada pemilu tahun 1999. Sementara pemilu 2004, angkanya tak jauh berubah hanya beralih tempat saja antara satu dengan yang lainnya. Angka yang jauh dari signifikan untuk menjadi the ruler di negeri yang katanya mayoritas beragama Islam ini. Sampai di sini, angan-angan simbolik kalangan Islam politik masih saja melambung; terbang ke masa lalu (PKB-NU, PPP-Masyumi awal, PAN-PSI, PBB-Masyumi zaman Natsir, PKS-Ikhwanul Muslimin) tentu saja dengan beberapa modifikasi. Pada saat yang bersamaan masing-masing memecah belah konsolidasi dirinya sendiri; memandang yang lain sebagai rival dan tak mau bersanding lagi. Maka tidak heran bila sekarang umat Islam tidak mendapat tauladan dan pendidikan politik yang baik dari para pemimpinnya. Meski agama mayoritas rakyat adalah Islam, namun jangan salahkan mereka jika pada setiap pemilu mereka apatis terhadap Islam politik. Walhasil, Islam politik mengalami keterpurukan lagi. Kali ini tidak disebabkan oleh realitas luar, tetapi mereka digerus dan dihukum oleh konstituennya sendiri. Wallahua`lam bis shawab.
***
* Refleksi untuk diskusi pada Pelantikan Pengurus PB HMI Periode 2003-2005.
* Sekjen PB HMI 2003-2005.
1 Dr. Mohammed Abed Al-Jabiry, Naqd Aql Al-Araby (3): Al-Aql As-Siyasy Al-Araby, Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-Arabiyah, Beirut: 1992, Cetakan II, hal. 17.
2 Sebagaimana dituturkan Ernest Renan melalui tulisan Soekarno: ‘bangsa’ itu adalah suatu nyawa, asas akal, yang terjadi dari dua hal: satu riwayat bersama dan keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bahasa, agama, persamaan butuh, dan bukan pula batas-batas negeri (lihat, Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, 1963).
3 Lihat George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (terj. Nin Bakdi Sumanto), PSH dan UNS, 1995, hal. 50.
4 Lihat Dr. Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 62-63.
5 Dr. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Bandung: Mizan, 2000, Cetakan II, hal. 5.
6 Ibid, Dr. Bahtiar Effendi, hal. 64.
7 Ibid, Dr. Deliar Noer, hal. 7.
8 Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, Cetakan II, 2001, hal. 118.
9 Lihat Ibid, Bahtiar Effendi, hal. 107.
Download artikel ini:
http://rapidshare.com/files/160248727/presented_nalar_politik.doc.html
Selamat Datang di Jurnal INTUISI, Blog resmi LAPMI Jaksel
Selamat Datang di Jurnal INTUISI, Blog resmi LAPMI Jaksel.
Terima kasih atas kunjungan Anda sekalian. Jurnal INTUISI, sebagai blog resmi LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan, berusaha menyuguhkan update informasi maupun kajian yang berlangsung di seputar lingkungan HMI MPO Cabang Jakarta Selatan. Kami berharap, para pengunjung sekalian dapat menikmati suguhan ini dan meninggalkan catatan-catatan kecil demi perbaikan ide-ide kami di masa yang akan datang. Sebab, Jurnal INTUISI hadir untuk menangkap pengetahuan secara keseluruhan!
Tim LAPMI Jaksel
Terima kasih atas kunjungan Anda sekalian. Jurnal INTUISI, sebagai blog resmi LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan, berusaha menyuguhkan update informasi maupun kajian yang berlangsung di seputar lingkungan HMI MPO Cabang Jakarta Selatan. Kami berharap, para pengunjung sekalian dapat menikmati suguhan ini dan meninggalkan catatan-catatan kecil demi perbaikan ide-ide kami di masa yang akan datang. Sebab, Jurnal INTUISI hadir untuk menangkap pengetahuan secara keseluruhan!
Tim LAPMI Jaksel
Ada Apa di Jurnal INTUISI?
- Update Jurnal INTUISI Versi Cetak
- Editorial Aktual
- Update Info HMI JakSel
- Opini Beragam
- Kajian Mendalam
- Fitur Tambahan Seru
- Partisipasi Terbuka
Senin, 03 November 2008
PROBLEM NALAR ISLAM POLITIK DI INDONESIA
Langganan:
Comment Feed (RSS)
Artikel Terpopuler
Widget edited by Anang
Tentang LAPMI Jaksel
- LAPMI HMI MPO Jaksel
- Ciputat, Jakarta Selatan/Tangerang Selatan, Indonesia
- Blog ini dikelola oleh LAPMI HMI MPO Cabang Jakarta Selatan sejak 30 Oktober 2008. LAPMI adalah singkatan dari Lembaga Pers Mahasiswa Islam. Blog ini diharapkan menjadi media di dunia maya untuk mempublikasikan karya-karya LAPMI HMI MPO Jaksel. Direktur Utama: Daimah Fatmawati Direktur Litbang: Bahrul Haq Al-Amin Direktur Penerbitan: Sunardi Panjaitan. Selamat menyimak!
Personel LAPMI Jaksel
- Daimah Fatmawati as Direktur Utama
- Sunardi Panjaitan as Direktur Penerbitan
- Bahrul Haq Al-Amin as Direktur Litbang
- Iffati Zamimah as Sekretaris LAPMI
Notifikasi Email
Masukkan alamat email Anda untuk mendapatkan pemberitahuan jika ada artikel/berita terbaru!
|