PARA REVOLUSIONER YANG TERLUPAKAN
Oleh: Muhammad Insan Kamil*
Di tengah ramainya sorak-tawa para pejuang-pejuang reformasi yang berada di Mahkamah Konstitusi kemarin tidak mengindikasikan adanya keseriusan dalam pergumulan mereka di panggung politik. Terlihat jelas bahwa saling ngecengin diantara mereka menandakan ketidak seriusan mereka untuk terjun, terlibat langsung dalam percaturan politik nasional. Hal ini terbukti dengan adanya potongan frasa yang di lontarkan oleh salah satu narasumber, sebut saja Rama Pratama; "memperjuangkan idealisme dalam perdebatan politik dan kebijakan di DPR itu tidak seperti perdebatan jalanan yang memakai otot dan hukum rimba!", serta merta dilanjutkan dengan tawa… Alih-alih menseriusi kerjaan yang sudah mereka lakukan, alur pembicaraan mereka malah terlarut-larut dalam nostalgia ketika berjuang di jalanan.
Acara yang dibuka oleh bung Ray Rangkuti (memakai bung, karena teman-temannya mengoloknya seperti bung Karno, memakai peci hitam) dan di beri prakata oleh Zimny As siddiqi, direktur MK, memberikan kesan acara ini benar-benar (walaupun sarasehan dan sillaturrahim) harus ditindaklanjuti serta diseriusi. Yang saya cerna dari sambutan keduanya, yaitu adanya tali komunikasi dan pegangan erat satu sama lain, bahkan Zimny seakan-akan memberikan nasihat kepada aktivis ’98 untuk menjaga 6 visi reformasi. Sedangkan bung Ray hanya menitik-beratkan pernyataannya dengan rasa gaduh terhadap artis-artis yang akan maju di panggung politik.
Kontestasi politik yang akan diselenggarakan tahun 2009 ini ditandai dengan maraknya artis-artis yang tidak pernah memakan bangku jalanan, "kita yang enak, eh….mereka malah nyelonong tanpa permisi, padahal kita yang sudah memeras keringat menumbangkan rezim orba", begitulah ungkapan kecil mereka di MK. Asumsi ini meruncing ketika aktivis ’98 yang akan mencalonkan caleg dari PAN Nashri Hamid memegang corong mic, bahwa sangat tidak mudah untuk pemilihan caleg sekarang, dikarenakan banyak para artis yang tidak mau kalah dengan para pejuang-pejuang reformasi.
Seperti halnya mereka dengan artis yang tidak mau kalah pamor dan popularitasnya demi mendapatkan suara terbanyak di PEMILU 2009, mereka mencoba verifikasi fragmatisme masyarakat yang mengatakan bahwa parpol dan politisi sekarang tidak dapat dipercaya lagi. Dengan demikian para aktivis ’98 berasumsi bahwa suara yang terbanyak akan melimpah kepada orang yang berpopularitas tinggi serta tidak pernah terkena kotoran sawah (analogi ini diungkapkan oleh Dakhiri dari caleg PKB, bahwa turun di dunia politik ini bagaikan main bola di sawah, terkena kotoran dan becek). Pola pikir mereka dalam hal ini jelas bahwa untuk bisa merubah Indonesia kepada jalan yang terbaik sesuai amanat reformasi, adalah dengan penetrasi ke dalam struktur pemerintahan via parpol.
"Sudah saatnya kaum muda untuk tampil, salah satu wadah yang bisa menampung mereka untuk estafeta perjuangan hanya dengan masuk ke dalam partai", begitulah asumsi mereka. Menurut saya, penetrasi ke dalam tubuh parpol adalah bukanlah jalan satu-satunya, pola pikir keok sebelum dipacok ini telah mengalir dalam darah dan nafas para aktivis ’98. Padahal sebagian dari mereka masih ada yang mempertahankan idealisme, berjuang untuk rakyat di level bawah, memperbaiki infrastruktur yang menganyam soliditas perjuangan tidak pernah terhenti. Jika yang ditakuti mereka adalah para artis-pesaing mereka di panggung politik, bagaimana jika mereka pun ternyata tergulirkan dengan pesona hedonitas, kapitalitas, dan materialitas yang sebenarnya adalah musuh utama sejak mereka memakan bangku jalanan???
Ada satu hal yang terlupakan oleh mereka, yaitu kesadaran akan hasil perjuangan mereka di jalanan 10 tahun lalu, apakah yang memperjuangkan mereka hanya yang hadir dan cekakak-cekikik di MK? Mana para pencetus-penggerak utama ide untuk menumbangkan Soeharto? Kenapa aktivis-aktivis ’98 dari FKMIJ, aliansi dan forum-forum mahasiswa Islam tidak diikutsertakan!? Ada apa di balik pasca penurunan Soeharto? Aroma sinisme tidak ubahnya seperti halnya para aktivis-aktivis ’66!!
Inilah kesempatan kita untuk mengevaluasi, berkaca diri bagaimana menjadi pejuang-revolusioner terlupakan! Motto Yakin Usaha Sampai tidak pernah cukup jika hanya diucapakan dan ikrarkan, berjuang….berjuanglah untuk ummat!
* Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Selatan periode 1429-1430 H/2008-2009 M. Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta.
Download artikel ini:
http://rapidshare.com/files/160257555/PARA_REVOLUSIONER_YANG_TERLUPAKAN.rtf.html
Oleh: Muhammad Insan Kamil*
Di tengah ramainya sorak-tawa para pejuang-pejuang reformasi yang berada di Mahkamah Konstitusi kemarin tidak mengindikasikan adanya keseriusan dalam pergumulan mereka di panggung politik. Terlihat jelas bahwa saling ngecengin diantara mereka menandakan ketidak seriusan mereka untuk terjun, terlibat langsung dalam percaturan politik nasional. Hal ini terbukti dengan adanya potongan frasa yang di lontarkan oleh salah satu narasumber, sebut saja Rama Pratama; "memperjuangkan idealisme dalam perdebatan politik dan kebijakan di DPR itu tidak seperti perdebatan jalanan yang memakai otot dan hukum rimba!", serta merta dilanjutkan dengan tawa… Alih-alih menseriusi kerjaan yang sudah mereka lakukan, alur pembicaraan mereka malah terlarut-larut dalam nostalgia ketika berjuang di jalanan.
Acara yang dibuka oleh bung Ray Rangkuti (memakai bung, karena teman-temannya mengoloknya seperti bung Karno, memakai peci hitam) dan di beri prakata oleh Zimny As siddiqi, direktur MK, memberikan kesan acara ini benar-benar (walaupun sarasehan dan sillaturrahim) harus ditindaklanjuti serta diseriusi. Yang saya cerna dari sambutan keduanya, yaitu adanya tali komunikasi dan pegangan erat satu sama lain, bahkan Zimny seakan-akan memberikan nasihat kepada aktivis ’98 untuk menjaga 6 visi reformasi. Sedangkan bung Ray hanya menitik-beratkan pernyataannya dengan rasa gaduh terhadap artis-artis yang akan maju di panggung politik.
Kontestasi politik yang akan diselenggarakan tahun 2009 ini ditandai dengan maraknya artis-artis yang tidak pernah memakan bangku jalanan, "kita yang enak, eh….mereka malah nyelonong tanpa permisi, padahal kita yang sudah memeras keringat menumbangkan rezim orba", begitulah ungkapan kecil mereka di MK. Asumsi ini meruncing ketika aktivis ’98 yang akan mencalonkan caleg dari PAN Nashri Hamid memegang corong mic, bahwa sangat tidak mudah untuk pemilihan caleg sekarang, dikarenakan banyak para artis yang tidak mau kalah dengan para pejuang-pejuang reformasi.
Seperti halnya mereka dengan artis yang tidak mau kalah pamor dan popularitasnya demi mendapatkan suara terbanyak di PEMILU 2009, mereka mencoba verifikasi fragmatisme masyarakat yang mengatakan bahwa parpol dan politisi sekarang tidak dapat dipercaya lagi. Dengan demikian para aktivis ’98 berasumsi bahwa suara yang terbanyak akan melimpah kepada orang yang berpopularitas tinggi serta tidak pernah terkena kotoran sawah (analogi ini diungkapkan oleh Dakhiri dari caleg PKB, bahwa turun di dunia politik ini bagaikan main bola di sawah, terkena kotoran dan becek). Pola pikir mereka dalam hal ini jelas bahwa untuk bisa merubah Indonesia kepada jalan yang terbaik sesuai amanat reformasi, adalah dengan penetrasi ke dalam struktur pemerintahan via parpol.
"Sudah saatnya kaum muda untuk tampil, salah satu wadah yang bisa menampung mereka untuk estafeta perjuangan hanya dengan masuk ke dalam partai", begitulah asumsi mereka. Menurut saya, penetrasi ke dalam tubuh parpol adalah bukanlah jalan satu-satunya, pola pikir keok sebelum dipacok ini telah mengalir dalam darah dan nafas para aktivis ’98. Padahal sebagian dari mereka masih ada yang mempertahankan idealisme, berjuang untuk rakyat di level bawah, memperbaiki infrastruktur yang menganyam soliditas perjuangan tidak pernah terhenti. Jika yang ditakuti mereka adalah para artis-pesaing mereka di panggung politik, bagaimana jika mereka pun ternyata tergulirkan dengan pesona hedonitas, kapitalitas, dan materialitas yang sebenarnya adalah musuh utama sejak mereka memakan bangku jalanan???
Ada satu hal yang terlupakan oleh mereka, yaitu kesadaran akan hasil perjuangan mereka di jalanan 10 tahun lalu, apakah yang memperjuangkan mereka hanya yang hadir dan cekakak-cekikik di MK? Mana para pencetus-penggerak utama ide untuk menumbangkan Soeharto? Kenapa aktivis-aktivis ’98 dari FKMIJ, aliansi dan forum-forum mahasiswa Islam tidak diikutsertakan!? Ada apa di balik pasca penurunan Soeharto? Aroma sinisme tidak ubahnya seperti halnya para aktivis-aktivis ’66!!
Inilah kesempatan kita untuk mengevaluasi, berkaca diri bagaimana menjadi pejuang-revolusioner terlupakan! Motto Yakin Usaha Sampai tidak pernah cukup jika hanya diucapakan dan ikrarkan, berjuang….berjuanglah untuk ummat!
* Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta Selatan periode 1429-1430 H/2008-2009 M. Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta.
Download artikel ini:
http://rapidshare.com/files/160257555/PARA_REVOLUSIONER_YANG_TERLUPAKAN.rtf.html
|